Mengenal Roket VortEx NASA, Pemburu Pusaran Raksasa Sumber Badai
loading...
A
A
A
FLORIDA - NASA mengembangkan roket Vorticity Experiment (VortEx) untuk mencari pusaran raksasa sumber badai di wilayah dekat pertemuan atmosfer Bumi dengan ruang angkasa. Pusaran ini penting untuk memahami pola cuaca di atas atmosfer yang berdampak pada seluruh planet Bumi.
VortEx NASA menggunakan empat roket bersuara yang diluncurkan berpasangan untuk mengkarakterisasi dinamika di mesosfer atas dan termosfer bawah. Ini merupakan lapisan atmosfer Bumi yang terletak kira-kira 90 hingga 120 kilometer di atas Bumi.
Dua roket pertama dari empat roket ini diluncurkan dari Norwegia pada Kamis 23 Maret 2023 malam. Secara khusus, misinya adalah berburu angin di ketinggian yang dapat menerpa gedung-gedung tinggi, puncak gunung, dan pesawat terbang, dan yang memiliki efek yang melampaui jangkauan manusia biasa ke atmosfer bagian atas.
Angin ini menyebabkan gelombang apung, yang menurut penjelasan NASA sebagai gelombang energi raksasa yang mendorong perubahan pada antarmuka planet Bumi dengan ruang angkasa. “Gelombang apung dapat datang dari badai yang mendekat, atau angin yang menghantam pegunungan dan dikirim ke atas,” kata peneliti utama VortEx Gerald Lehmacher dikutip dari laman Space, Selasa (28/3/2023).
Lehmacher menjelaskan, gelombang apung secara umum sudah dikenal, tetapi efeknya di atmosfer bagian atas masih menjadi misteri. “Dalam arti luas, percobaan ini adalah tentang mempelajari nasib gelombang apung di tepi ruang angkasa,” kata Lehmacher yang juga profesor fisika di Clemson University di Carolina Selatan.
Para ilmuwan di belakang VortEx sedang mencari jawaban mengenai fenomena pusaran berbentuk badai atau vortisitas, yang diduga tercipta saat gelombang apung naik melalui bagian atmosfer yang stabil. Kondisi ini menyebabkan udara bergerak dalam pusaran raksasa.
“Mereka bisa berubah menjadi pusaran air. Ini bisa terjadi di mana-mana di atmosfer, tapi kami tidak memiliki ukuran untuk mengetahuinya,” kata Lehmacher.
Pusaran ini dapat membentang hingga puluhan mil, membuatnya terlalu besar untuk diukur secara efektif menggunakan metode konvensional. Itulah mengapa VortEx menempuh rute yang tidak konvensional, menggunakan roket untuk mengukur angin di lokasi yang tersebar luas.
Untuk mendapatkan pengukuran ini, misi VortEx meluncurkan empat roket suborbital dari Andoya Space Center di Norwegia, dua roket sekaligus dengan penundaan beberapa menit. Setiap pasangan mencakup satu roket terbang tinggi, Black Brant 9 yang dapat mencapai ketinggian sekitar 600 km, dan satu roket ketinggian rendah, Terrier-Improved Orion, yang dapat terbang hingga ketinggian sekitar 350 km.
Setelah beberapa menit terbang, roket jatuh kembali ke Bumi, mendarat di Laut Norwegia. Roket Black Brant 9 akan membantu mengukur angin pada ketinggian sekitar 360 km, Orion Terrier-Improved akan membantu dalam pengukuran kepadatan udara, yang memengaruhi bagaimana vortisitas terbentuk, pada ketinggian sekitar 140 km.
Roket VortEx melakukan pengukuran ini dengan melepaskan awan bercahaya ke atmosfer. Untuk memastikan awan tersebar dalam jarak yang luas sehingga pola skala besar dapat terlihat, keempat roket akan mengeluarkan empat sub-muatan satu per satu.
Setiap sub-muatan berpotensi mencapai 40 km dari roket sebelum melepaskan awan bercahaya. Hasil bersihnya adalah 16 awan berbeda pada ketinggian berbeda yang menyebar ke jarak berbeda. Tim VortEx akan mempelajari pola pusaran awan ini menggunakan Observatorium Alomar di Andenes, Norwegia, untuk mendeteksi gelombang apung yang terjadi secara real time.
Pengukuran vortisitas oleh misi VortEx bisa menjadi langkah maju untuk memahami cuaca atmosfer bagian atas, yang dapat memengaruhi navigasi GPS dan sinyal komunikasi. Pusaran ini juga dapat menjelaskan gelombang daya apung yang tidak dapat dimodelkan secara akurat oleh komputer, karena perilaku pusaran jauh lebih mudah diprediksi.
VortEx NASA menggunakan empat roket bersuara yang diluncurkan berpasangan untuk mengkarakterisasi dinamika di mesosfer atas dan termosfer bawah. Ini merupakan lapisan atmosfer Bumi yang terletak kira-kira 90 hingga 120 kilometer di atas Bumi.
Dua roket pertama dari empat roket ini diluncurkan dari Norwegia pada Kamis 23 Maret 2023 malam. Secara khusus, misinya adalah berburu angin di ketinggian yang dapat menerpa gedung-gedung tinggi, puncak gunung, dan pesawat terbang, dan yang memiliki efek yang melampaui jangkauan manusia biasa ke atmosfer bagian atas.
Baca Juga
Angin ini menyebabkan gelombang apung, yang menurut penjelasan NASA sebagai gelombang energi raksasa yang mendorong perubahan pada antarmuka planet Bumi dengan ruang angkasa. “Gelombang apung dapat datang dari badai yang mendekat, atau angin yang menghantam pegunungan dan dikirim ke atas,” kata peneliti utama VortEx Gerald Lehmacher dikutip dari laman Space, Selasa (28/3/2023).
Lehmacher menjelaskan, gelombang apung secara umum sudah dikenal, tetapi efeknya di atmosfer bagian atas masih menjadi misteri. “Dalam arti luas, percobaan ini adalah tentang mempelajari nasib gelombang apung di tepi ruang angkasa,” kata Lehmacher yang juga profesor fisika di Clemson University di Carolina Selatan.
Para ilmuwan di belakang VortEx sedang mencari jawaban mengenai fenomena pusaran berbentuk badai atau vortisitas, yang diduga tercipta saat gelombang apung naik melalui bagian atmosfer yang stabil. Kondisi ini menyebabkan udara bergerak dalam pusaran raksasa.
“Mereka bisa berubah menjadi pusaran air. Ini bisa terjadi di mana-mana di atmosfer, tapi kami tidak memiliki ukuran untuk mengetahuinya,” kata Lehmacher.
Pusaran ini dapat membentang hingga puluhan mil, membuatnya terlalu besar untuk diukur secara efektif menggunakan metode konvensional. Itulah mengapa VortEx menempuh rute yang tidak konvensional, menggunakan roket untuk mengukur angin di lokasi yang tersebar luas.
Untuk mendapatkan pengukuran ini, misi VortEx meluncurkan empat roket suborbital dari Andoya Space Center di Norwegia, dua roket sekaligus dengan penundaan beberapa menit. Setiap pasangan mencakup satu roket terbang tinggi, Black Brant 9 yang dapat mencapai ketinggian sekitar 600 km, dan satu roket ketinggian rendah, Terrier-Improved Orion, yang dapat terbang hingga ketinggian sekitar 350 km.
Setelah beberapa menit terbang, roket jatuh kembali ke Bumi, mendarat di Laut Norwegia. Roket Black Brant 9 akan membantu mengukur angin pada ketinggian sekitar 360 km, Orion Terrier-Improved akan membantu dalam pengukuran kepadatan udara, yang memengaruhi bagaimana vortisitas terbentuk, pada ketinggian sekitar 140 km.
Roket VortEx melakukan pengukuran ini dengan melepaskan awan bercahaya ke atmosfer. Untuk memastikan awan tersebar dalam jarak yang luas sehingga pola skala besar dapat terlihat, keempat roket akan mengeluarkan empat sub-muatan satu per satu.
Setiap sub-muatan berpotensi mencapai 40 km dari roket sebelum melepaskan awan bercahaya. Hasil bersihnya adalah 16 awan berbeda pada ketinggian berbeda yang menyebar ke jarak berbeda. Tim VortEx akan mempelajari pola pusaran awan ini menggunakan Observatorium Alomar di Andenes, Norwegia, untuk mendeteksi gelombang apung yang terjadi secara real time.
Pengukuran vortisitas oleh misi VortEx bisa menjadi langkah maju untuk memahami cuaca atmosfer bagian atas, yang dapat memengaruhi navigasi GPS dan sinyal komunikasi. Pusaran ini juga dapat menjelaskan gelombang daya apung yang tidak dapat dimodelkan secara akurat oleh komputer, karena perilaku pusaran jauh lebih mudah diprediksi.
(wib)