Satelit Pengukur Angin Milik Eropa Sekarat, ESA Siapkan Prosedur Aman saat Jatuh ke Bumi
loading...
A
A
A
PARIS - Satelit pengukur angin Bumi yang beroperasi di luar angkasa milik Eropa, yang dikenal dengan nama Aeolus dinyatakan sekarat dan segera jatuh ke Bumi. Badan Antariksa Eropa (ESA) menyiapkan prosedur yang tepat agar satelit Aeolus jatuh denga naman saat memasuki Bumi.
Satelit Aeolus telah mengorbit Bumi sejak 2018 dan menjadi pesawat ruang angkasa pertama yang mengukur angin Bumi dari luar angkasa. Aeolus menjalani misi tersebut melampaui umur operasi yang direncanakan selama satu tahun, dan akhirnya dinyatakan tak berfungsi setelah bahan bakarnya hampir habis pada awal Juli 2023.
Badan Antariksa Eropa (ESA) berencana untuk membantu pesawat ruang angkasa Aeolus masuk kembali ke atmosfer Bumi secara aman pada Jumat 28 Juli 2023 malam. Namun, prosedur untuk membawanya kembali ke Bumi sudah dimulai pada Senin 24 Juli 2023.
“Ini cukup unik, apa yang kami lakukan. Anda tidak menemukan contoh seperti ini dalam sejarah penerbangan luar angkasa,” kata Kepala Kantor Sampah Luar Angkasa ESA Holger Krag saat konferensi pers pada Rabu 19 Juli 2023 dikutip SINDOnews dari laman Space, Selasa (25/7/2023).
Mulai 24 Juli 2023, pesawat ruang angkasa telah jatuh ke Bumi dengan kecepatan yang semakin tinggi. Saat itu satelit Aeolus sudah mencapai ketinggian 280 kilometer di atas Bumi, kemudian para ilmuwan ESA untuk memulai misi perintis untuk membawa Aeolus kembali dengan aman menggunakan sedikit bahan bakar yang tersisa.
Manajer Operasi Pesawat Luar Angkasa ESA Isabel Rojo Escude-Cofiner menjelaskan secara detail bagaimana operasi untuk membawa Aeolus turun ke Bumi. Manuver awal dimulai dengan menurunkan ketinggian dari 280 km menjadi 250 km dan menempatkannya di orbit elips.
“Jika semuanya berjalan sesuai rencana, ini akan diikuti tiga hari kemudian dengan serangkaian manuver lain. Tujuannya untuk menurunkannya lebih jauh dari ketinggian 250 km menjadi 150 km,” kata Escude-Cofiner.
Satelit Aeolus kemudian akan melakukan manuver untuk menurunkan ketinggiannya menjadi sekitar 100 km di atas Bumi. Lima jam kemudian, pesawat itu akan memasuki kembali atmosfer bumi, terbang di atas Samudra Atlantik dan jatuh di laut dengan pantauan radar ESA.
Para ilmuwan ESA menjelaskan diperkirakan sekitar 80% bagian satelit Aeolus akan hancur saat satelit jatuh ke atmosfer. 20% sisanya akan tercebur di Atlantik dan tenggelam dengan cepat.
Krag menjelaskan bahwa rasio 80% hingga 20% untuk pesawat ruang angkasa yang memasuki atmosfer adalah sesuatu yang alami. Aspek "aman" dari misi ini mengacu pada fakta bahwa misi ini dapat membantu para ilmuwan membangun dasar untuk misi masa depan yang akan membawa peralatan luar angkasa lain kembali ke Bumi dengan risiko kecil terhadap properti atau populasi.
Ilmuwan ESA saat ini ada sekitar 100 ton puing-puing luar angkasa buatan manusia masuk kembali ke atmosfer bumi setiap tahun. Benda-benda besar itu jatuh kembali ke Bumi dengan kecepatan sekitar satu per minggu.
“Hari ini, kami memiliki 10.000 pesawat ruang angkasa di luar angkasa, 2.000 di antaranya tidak berfungsi. Dalam hal massa, beratnya mencapai 11.000 ton," kata Krag.
Satelit Aeolus telah mengorbit Bumi sejak 2018 dan menjadi pesawat ruang angkasa pertama yang mengukur angin Bumi dari luar angkasa. Aeolus menjalani misi tersebut melampaui umur operasi yang direncanakan selama satu tahun, dan akhirnya dinyatakan tak berfungsi setelah bahan bakarnya hampir habis pada awal Juli 2023.
Badan Antariksa Eropa (ESA) berencana untuk membantu pesawat ruang angkasa Aeolus masuk kembali ke atmosfer Bumi secara aman pada Jumat 28 Juli 2023 malam. Namun, prosedur untuk membawanya kembali ke Bumi sudah dimulai pada Senin 24 Juli 2023.
“Ini cukup unik, apa yang kami lakukan. Anda tidak menemukan contoh seperti ini dalam sejarah penerbangan luar angkasa,” kata Kepala Kantor Sampah Luar Angkasa ESA Holger Krag saat konferensi pers pada Rabu 19 Juli 2023 dikutip SINDOnews dari laman Space, Selasa (25/7/2023).
Mulai 24 Juli 2023, pesawat ruang angkasa telah jatuh ke Bumi dengan kecepatan yang semakin tinggi. Saat itu satelit Aeolus sudah mencapai ketinggian 280 kilometer di atas Bumi, kemudian para ilmuwan ESA untuk memulai misi perintis untuk membawa Aeolus kembali dengan aman menggunakan sedikit bahan bakar yang tersisa.
Manajer Operasi Pesawat Luar Angkasa ESA Isabel Rojo Escude-Cofiner menjelaskan secara detail bagaimana operasi untuk membawa Aeolus turun ke Bumi. Manuver awal dimulai dengan menurunkan ketinggian dari 280 km menjadi 250 km dan menempatkannya di orbit elips.
“Jika semuanya berjalan sesuai rencana, ini akan diikuti tiga hari kemudian dengan serangkaian manuver lain. Tujuannya untuk menurunkannya lebih jauh dari ketinggian 250 km menjadi 150 km,” kata Escude-Cofiner.
Satelit Aeolus kemudian akan melakukan manuver untuk menurunkan ketinggiannya menjadi sekitar 100 km di atas Bumi. Lima jam kemudian, pesawat itu akan memasuki kembali atmosfer bumi, terbang di atas Samudra Atlantik dan jatuh di laut dengan pantauan radar ESA.
Para ilmuwan ESA menjelaskan diperkirakan sekitar 80% bagian satelit Aeolus akan hancur saat satelit jatuh ke atmosfer. 20% sisanya akan tercebur di Atlantik dan tenggelam dengan cepat.
Krag menjelaskan bahwa rasio 80% hingga 20% untuk pesawat ruang angkasa yang memasuki atmosfer adalah sesuatu yang alami. Aspek "aman" dari misi ini mengacu pada fakta bahwa misi ini dapat membantu para ilmuwan membangun dasar untuk misi masa depan yang akan membawa peralatan luar angkasa lain kembali ke Bumi dengan risiko kecil terhadap properti atau populasi.
Ilmuwan ESA saat ini ada sekitar 100 ton puing-puing luar angkasa buatan manusia masuk kembali ke atmosfer bumi setiap tahun. Benda-benda besar itu jatuh kembali ke Bumi dengan kecepatan sekitar satu per minggu.
Baca Juga
“Hari ini, kami memiliki 10.000 pesawat ruang angkasa di luar angkasa, 2.000 di antaranya tidak berfungsi. Dalam hal massa, beratnya mencapai 11.000 ton," kata Krag.
(wib)