Turbulensi Pesawat Singapore Airlines: Ancaman Nyata di Udara, Bagaimana Menyikapinya?

Rabu, 22 Mei 2024 - 06:56 WIB
loading...
Turbulensi Pesawat Singapore Airlines: Ancaman Nyata di Udara, Bagaimana Menyikapinya?
Pesawat Boeing 777-300ER milik Singapore Airlines, penerbangan SQ321 dari Heathrow yang meminta pendaratan darurat di Bangkok, Thailand, Selasa (21/5/2024). Foto: AP/Pongsakorn Rodphai
A A A
BANGKOK - Meski jarang sekali menyebabkan kecelakaan fatal atau kematian, peristiwa turbulensi parah di pesawat meningkat 55 persen sejak 1979. Diduga, peningkatan tersebut salah satunya karena krisis iklim.

Kematian seorang penumpang asal Inggris dan luka-luka yang dialami puluhan penumpang lain pada penerbangan Singapore Airlines dari London telah menggarisbawahi potensi bahaya turbulensi.

Namun apa yang menyebabkan turbulensi? Seberapa besar risikonya? dan apakah krisis iklim membuatnya semakin buruk?

Risiko Terbesar di Pesawat Domestik

Pada penerbangan internasional, kematian yang secara langsung disebabkan oleh turbulensi sangat jarang terjadi. Pilot biasanya dapat memberikan peringatan dini tentang sebagian besar jenis turbulensi dan memastikan semua penumpang terikat di kursi.

Pada pesawat pribadi atau jet bisnis yang lebih kecil, cedera serius atau kematian lebih sering terjadi gara-gara turbulensi.

Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS mencatat lebih dari 100 cedera dan puluhan kematian hanya dalam waktu lebih dari satu dekade pada penerbangan domestik, meskipun kematian sebagian besar terjadi ketika turbulensi menyebabkan pesawat jatuh.

Pada pesawat lebih besar, risiko turbulensi adalah cedera kepala atau cedera lainnya pada orang-orang yang bisa terlempar di sekitar kabin jika tidak terikat di kursi. Atau, tertabrak puing-puing yang beterbangan – terutama saat layanan troli. Awak pesawat memiliki jumlah cedera terbesar.

Apa Itu Turbulensi dan Bagaimana Pesawat Dapat Menghindarinya?
Turbulensi Pesawat Singapore Airlines: Ancaman Nyata di Udara, Bagaimana Menyikapinya?

Secara umum, turbulensi disebabkan oleh pertemuan udara pada suhu, tekanan, atau kecepatan yang berbeda, di mana pola angin yang berbeda bertabrakan – seperti perahu yang tiba-tiba menghadapi air berombak.

Sementara beberapa kondisi cuaca dan geografis, seperti badai petir, pegunungan, dan kemunculan awan tertentu, dapat menandakan turbulensi di depan, ada juga "turbulensi udara bersih", yang dapat mengejutkan pilot pesawat dan terjadi tanpa peringatan.

Stuart Fox, direktur operasi penerbangan dan teknis di badan maskapai global IATA, mengatakan terkadang turbulensi datang tidak terduga.

Misalnya, turbulensi udara bersih yang disebabkan karena kekuatan dan arah aliran udara yang berubah cepat.

“Geseran angin dapat membuat pesawat keluar jalur, kehilangan ketinggian dengan cepat, atau terguncang hebat,” ungkapnya.

Pilot dapat diarahkan oleh laporan dari pesawat di depan. IATA sendiri membuat platform yang digunakan oleh sejumlah maskapai untuk bertukar data.

"Ini memberikan informasi langsung bagi orang-orang yang dapat terbang ke dalam turbulensi yang sama."

Namun, meskipun daerah-daerah seperti Teluk Benggala terkenal dengan turbulensinya, pilihan pilot mungkin terbatas, kata Marco Chan, mantan pilot komersial dan dosen penerbangan di Buckinghamshire New University.

Dia mengatakan insiden Singapore Airlines terjadi "dalam zona konvergensi inter-tropis, di mana sering terjadi badai petir. Badai petir ditampilkan secara jelas pada layar navigasi pilot - tetapi mungkin tidak mungkin untuk sepenuhnya menghindari gugusan badai karena mereka dapat membentang lebih dari 50 mil laut," ungkap Marco.

Apakah Krisis Iklim Membuatnya Semakin Buruk?

Para ilmuwan di Universitas Reading mengatakan penelitian mereka menunjukkan suhu yang lebih tinggi sebagai akibat dari krisis iklim menyebabkan peningkatan turbulensi yang signifikan di seluruh penerbangan transatlantik.

Insiden turbulensi parah meningkat 55% antara 1979 dan 2020. Mereka menemukan, ini terjadi karena perubahan kecepatan angin di ketinggian.

Prof Paul Williams, salah satu penulis studi tersebut, menyebut bahwa industri penerbangan perlu berinvestasi dalam sistem yang lebih baik untuk meramalkan dan mendeteksi turbulensi.


Seberapa Khawatirkah Penumpang?

Turbulensi tentu mengkhawatirkan. Tetapi risiko cedera parah pada penumpang sangat jarang terjadi pada pesawat komersial besar.
Peristiwa tragis pada penerbangan Singapore Airlines SQ321 terbilang sangat jarang.

Korban terakhir yang disebabkan oleh turbulensi yang diketahui IATA adalah pada 1997, yakni penerbangan United Airlines dari Tokyo ke Honolulu.

Namun, Fox mengatakan: "Sebagian besar maskapai penerbangan menyarankan penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman mereka selama penerbangan, dan saya pikir itu saranyangbagus."
(dan)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1288 seconds (0.1#10.140)
pixels