Selain Sentinel, Ini 3 Suku Primitif yang Masih Ada di Dunia

Kamis, 12 September 2024 - 07:39 WIB
loading...
Selain Sentinel, Ini...
Di antara suku primitif yang masih ada di dunia yang paling terkenal adalah suku Sentinel di Kepulauan Andaman. Foto/Telegraph India
A A A
JAKARTA - Di era serba modern serta teknologi canggih faktanya masih banyak suku primitif yang ada di dunia. Mereka hidup di wilayah-wilayah terisolir dan memegang teguh tradisi serta cara hidupnya sendiri.

Di antara suku primitif yang masih ada di dunia yang paling terkenal adalah suku Sentinel di Kepulauan Andaman, yang berlokasi di antara Myanmar dan India. Keberadaan mereka terekspose secara luas pada tahun 2004 silam, setelah tsunami melanda wilayah tersebut.

Pemerintah India pun berinisiatif membuka saluran komunikasi dan memberikan bantuan. Namun, ketika helikopter Angkatan Laut India berusaha menjatuhkan persediaan logistik, malah dianggap ancaman dan mendapat peringatan dari salah seorang anggota suku yang mengacungkan tombak ke arah helikopter. Suku ini akhirnya ditetapkan sebagai komunitas berbahaya dan wajib dijauhi. Orang asing pun dilarang masuk ke wilayah ini.

Pada 21 November 2018, BBC melaporkan seorang pria Amerika dibunuh oleh suku terancam punah di Kepulauan Andaman dan Nicobar India. Lelaki 27 tahun tersebut adalah John Allen Chau, dari negara bagian Alabama. Misi Chau sebenarnya adalah menyebarkan agama Kristen ke suku-suku ini, namun dia harus kehilangan nyawanya saat melaksanakan misinya.

Selain suku Sentinel, ada banyak suku-suku primitif lain yang masih ada di dunia yang menarik untuk dikenal. Berikut ulasannya dilansir dari berbagai sumber, Kamis (11/9/2024):


1. Suku Korowai (Papua, Indonesia)


Suku Korowai tinggal di hutan terpencil di Papua barat daya. Mereka terkenal karena tinggal di rumah pohon yang dibangun tinggi di atas tanah pada tiang-tiang kayu atau langsung di puncak pohon.

Alasan mereka tinggal di rumah pohon karena sedikit nyamuk dan ular di sana serta memberikan perlindungan dari serangan musuh. Namun, alasan utama adalah menghindari hantu-hantu yang dikabarkan berkeliaran di hutan pada malam hari.

Melansir dari Papua Explorer, rumah pohon Korowai dibangun hanya menggunakan bahan-bahan dari hutan. Tidak ada alat modern yang digunakan - tidak ada palu, tidak ada pengukuran, tidak ada paku. Rumah-rumah tertinggi dapat mencapai ketinggian hingga 40 meter. Untuk keluarga dan kehidupan normal, suku Korowai membangun rumah-rumah yang tingginya antara 3 dan 10 meter di atas tanah.

Suku Korowai pertama kali melakukan kontak dengan dunia luar pada akhir tahun 1970-an. Kontak ini awalnya sangat terbatas dan oleh karena itu suku Korowai dapat dikatakan telah hidup hampir tidak tersentuh oleh dunia luar hingga tahun 1990-an.

Saat ini, sebagian besar suku Korowai asli tinggal di desa-desa di sepanjang dua sungai utama di barat dan timur wilayah Korowai. Kehidupan di sana tetap sangat sederhana dan suku Korowai sebagian besar mandiri. Namun, di desa-desa mereka memiliki akses ke pasokan makanan modern yang sederhana (terutama beras, gula, dan kopi) serta obat-obatan. Akibatnya, desa-desa ini menarik dan menarik semakin banyak suku Korowai keluar dari hutan.

Jika ingin melihat suku Korowai yang hidup secara tradisional, harus melakukan trekking di hutan selama beberapa hari. Di daerah hutan yang luas, keluarga dan klan Korowai individu masih hidup dengan cara tradisional. Mereka masih tinggal di rumah pohon, makan terutama dari sagu dan air, dan hampir tidak memiliki barang material. Milik yang paling penting seringkali adalah kalung yang terbuat dari gigi anjing, busur berburu, atau babi hutan yang dijinakkan.

Tidak seperti kerabat mereka di desa-desa, suku Korowai hidup di hutan secara nomaden. Mereka berpindah dari area sagu ke area sagu, biasanya menetap di satu tempat selama sekitar 5 tahun, sampai persediaan sagu habis. Tempat perkemahan ini dan persediaan sagu yang terkait dimiliki oleh satu klan dan mungkin tidak digunakan oleh klan lain. Hal ini seringkali menyebabkan perselisihan di masa lalu. Meskipun demikian, suku Korowai umumnya dianggap damai dan tidak agresif.

Suku Korowai memiliki sistem sosial dan budaya yang kompleks dengan hierarki ketat berdasarkan usia dan jenis kelamin. Suku ini dipimpin seorang kepala suku yang bertanggung jawab membuat keputusan penting dan menjaga perdamaian dan harmoni dalam komunitas. Suku Korowai juga memiliki sistem hukum dan adat tradisional yang mengatur kehidupan sehari-hari dan interaksi dengan suku-suku lain.



Aspek menarik lainnya dari budaya Korowai adalah kepercayaan pada keberadaan jenis roh jahat yang disebut "khakhua". Suku Korowai percaya roh-roh jahat ini dapat mengambil bentuk manusia dan menyebabkan bahaya.

Untuk melindungi diri, suku Korowai melakukan ritual dan praktik yang rumit. Penyakit atau kematian selalu dapat dikaitkan dengan roh jahat semacam itu, dan seringkali dengan seorang dukun yang sengaja menyebabkan bahaya. Dan, tentu saja, hantu-hantu ini tinggal di hutan yang sama. Mereka memiliki area sendiri, yang dianggap sebagai zona terlarang dan tidak boleh dimasuki.

2. Suku Tsimane (Bolivia)


Suku Tsimane hidup di hutan Amazon dan dikenal sebagai salah satu masyarakat paling sehat di dunia. Mereka memiliki pola makan yang sangat alami, bergantung pada hasil hutan dan sungai. Suku Tsimane juga memiliki pengetahuan mendalam tentang tanaman obat dan sistem pengobatan tradisional, sehingga dikenal panjang umur.

Sebuah penelitian mengungkap rahasia panjang umur suku Tsimane yang hidup di tengah hutan Amazon. Ada sebuah diet khusus yang secara alami menghindarkan mereka dari gejala alzheimer dan beragam penyakit lainnya. Kondisi fisik serta organ vital suku Tsimane menyimpan petunjuk tentang umur panjang.

Melansir Daily Mail, suku Tsimane menjadi salah satu kelompok terakhir di planet ini yang hidup dengan gaya hidup subsisten sepenuhnya, yaitu berburu, mencari makan, dan bertani. Kurang dari 10 persen waktu siang mereka dihabiskan untuk kegiatan duduk diam, dibandingkan dengan 54 persen di populasi industri, dan mereka memiliki akses yang sangat sedikit terhadap makanan olahan, alkohol, dan rokok.

Selama beberapa dekade, para ilmuwan mengagumi kesehatan jantung dan otak suku Tsimane yang menakjubkan. Padahal suku ini tinggal jauh di dalam hutan hujan Amazon, 600 Km di utara La Paz, kota terbesar di Bolivia.

Tidak ada kasus Alzheimer di antara populasi suku yang berjumlah 16.000 orang. Studi lanjutan menunjukkan anggota lanjut usia suku ini memiliki atrofi otak 70 persen lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang berusia sama di negara-negara industri.

Rata-rata kegiatan berburu suku ini berlangsung lebih dari delapan jam dan mencakup jarak 17,7 kilometer. Sementara itu, hanya 14 persen kalori yang mereka konsumsi berasal dari lemak, dibandingkan dengan 34 persen tingkat konsumsi di AS.

Diet mereka juga tinggi serat dan 72 persen kalori mereka berasal dari karbohidrat. Selain itu, protein mereka biasanya berasal dari hewan yang diburu seperti burung, monyet, dan ikan. Cara memasak mereka tidak pernah menggoreng.

Tsiname secara tradisional adalah animis dan percaya bahwa makhluk supernatural yang tinggal di hutan mengendalikan nasib mereka. Mereka membuat bir ubi kayu dalam tong besar, yang merupakan bagian penting dari acara sosial yang menyatukan keluarga dan desa.

3. Suku Pirahã (Amazonas, Brasil)


Suku Pirahã mendiami tanah yang dilalui oleh sungai Marmelos dan hampir sepanjang sungai Maici, yang terletak di wilayah Humaitá di negara bagian Amazonas. Mereka memiliki bahasa yang sangat unik dan sederhana, dengan kosakata terbatas. Mereka hidup sebagai pemburu dan pengumpul di hutan hujan Amazon dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan lingkungan. Suku Pirahã menolak banyak aspek modernitas dan lebih memilih mempertahankan gaya hidup tradisionalnya.

Orang Pirahã menyebut diri mereka hiaitsiihi, sebuah kategori manusia atau tubuh (ibiisi) yang membedakan dari orang Putih dan Indian lainnya.
(msf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3681 seconds (0.1#10.140)