Izin Penggunaan Darurat Tetap Perhatikan Khasiat dan Keamanan Vaksin
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menempuh segala cara untuk mencegah penyebaran COVID-19, salah satunya dengan pengadaan vaksin. Vaksin tersebut ada yang dibuat sendiri dan didatangkan dari luar negeri. (Baca juga: Update Vaksin Corona: Rusia Hembuskan Kabar Gembira dari Uji Coba Kontroversial )
Terkait hal ini, salah satunya adalah izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA) vaksin COVID-19. Ini menjadi salah satu upaya pemerintah memutus rantai penularan virus Corona.
Dengan memprioritaskan keamanan, khasiat, dan mutu vaksin, EUA diharapkan dapat mempercepat penanganan pandemik. Implementasi kebijakan strategis dan langkah terobosan tersebut juga menjadi fokus Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) yang turut didukung Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
"Normalnya, pengembangan vaksin baru memerlukan waktu lama. Namun, WHO memperbolehkan upaya percepatan pengembangan vaksin Covid-19 karena adanya kebutuhan yang mendesak saat pandemik," kata Prof Cissy Rachiana Sudjana Prawira-Kartasasmita, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Menurut Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini, pemerintah telah mengerahkan segala upaya untuk memutuskan rantai penularan COVID-19. Namun masyarakat masih banyak yang tidak mematuhi protokol kesehatan sehingga angka penularan melonjak. "Itu sebabnya, kita memerlukan langkah terobosan guna mengurangi transmisi virus, yakni dengan vaksin," imbuh Prof Cissy.
Bukan Izin Edar
Salah satu upaya percepatan yang diperbolehkan adalah Izin Penggunaan Darurat atau EUA. Dijelaskannya, EUA diberikan oleh badan regulator di negara masing-masing. Di Indonesia, EUA menjadi kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).
Sebagai catatan, tegas dia, EUA hanya diberikan untuk pemakaian terbatas di saat pandemik dan bukan sebagai izin edar. Tentunya, EUA juga memperhatikan aspek keamanan, khasiat, dan mutu.
EUA mempertimbangkan rasio kemanfaatan dan risiko. Di sisi lain, pemberian EUA melibatkan seluruh data mutu, nonklinik dan klinik, serta risiko kondisi kesehatan masyarakat yang ditimbulkan penyakit. Data uji klinik sangat diperlukan guna memastikan keamanan dan khasiat, serta mutu vaksin.
"Menurut WHO, EUA untuk vaksin diberikan jika minimal 50% relawan sudah divaksinasi secara penuh. Kondisi mereka jugaterusdipantau selama tiga bulan setelah suntikan terakhir. Hal tersebut juga berlaku untuk vaksin jadi yang diimpor," jelasnya. (Baca juga: Ini Dia Skenario Joan Mir Bisa Kunci Gelar MotoGP 2020 )
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Deputi I BPOM, Togi Hutadjulu, menjelaskan, EUAdiberikan dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan yang lebih tinggi dari risikonya. Proses evaluasi keamanan dan khasiat terhadap kandidat vaksin melibatkan Tim Komite Nasional Penilai Obat yang terdiri atas para ahli farmakologi, klinis, dan pakar-pakar di bidang lain. Badan POM baru dapat mengeluarkan EUA jika vaksin telah memenuhi syarat keamanan, khasiat, dan mutu berdasarkan proses evaluasi.
Terkait hal ini, salah satunya adalah izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA) vaksin COVID-19. Ini menjadi salah satu upaya pemerintah memutus rantai penularan virus Corona.
Dengan memprioritaskan keamanan, khasiat, dan mutu vaksin, EUA diharapkan dapat mempercepat penanganan pandemik. Implementasi kebijakan strategis dan langkah terobosan tersebut juga menjadi fokus Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) yang turut didukung Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
"Normalnya, pengembangan vaksin baru memerlukan waktu lama. Namun, WHO memperbolehkan upaya percepatan pengembangan vaksin Covid-19 karena adanya kebutuhan yang mendesak saat pandemik," kata Prof Cissy Rachiana Sudjana Prawira-Kartasasmita, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Menurut Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini, pemerintah telah mengerahkan segala upaya untuk memutuskan rantai penularan COVID-19. Namun masyarakat masih banyak yang tidak mematuhi protokol kesehatan sehingga angka penularan melonjak. "Itu sebabnya, kita memerlukan langkah terobosan guna mengurangi transmisi virus, yakni dengan vaksin," imbuh Prof Cissy.
Bukan Izin Edar
Salah satu upaya percepatan yang diperbolehkan adalah Izin Penggunaan Darurat atau EUA. Dijelaskannya, EUA diberikan oleh badan regulator di negara masing-masing. Di Indonesia, EUA menjadi kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).
Sebagai catatan, tegas dia, EUA hanya diberikan untuk pemakaian terbatas di saat pandemik dan bukan sebagai izin edar. Tentunya, EUA juga memperhatikan aspek keamanan, khasiat, dan mutu.
EUA mempertimbangkan rasio kemanfaatan dan risiko. Di sisi lain, pemberian EUA melibatkan seluruh data mutu, nonklinik dan klinik, serta risiko kondisi kesehatan masyarakat yang ditimbulkan penyakit. Data uji klinik sangat diperlukan guna memastikan keamanan dan khasiat, serta mutu vaksin.
"Menurut WHO, EUA untuk vaksin diberikan jika minimal 50% relawan sudah divaksinasi secara penuh. Kondisi mereka jugaterusdipantau selama tiga bulan setelah suntikan terakhir. Hal tersebut juga berlaku untuk vaksin jadi yang diimpor," jelasnya. (Baca juga: Ini Dia Skenario Joan Mir Bisa Kunci Gelar MotoGP 2020 )
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Deputi I BPOM, Togi Hutadjulu, menjelaskan, EUAdiberikan dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan yang lebih tinggi dari risikonya. Proses evaluasi keamanan dan khasiat terhadap kandidat vaksin melibatkan Tim Komite Nasional Penilai Obat yang terdiri atas para ahli farmakologi, klinis, dan pakar-pakar di bidang lain. Badan POM baru dapat mengeluarkan EUA jika vaksin telah memenuhi syarat keamanan, khasiat, dan mutu berdasarkan proses evaluasi.
(iqb)