Karena Perubahan Iklim, Mikroba Mematikan Terlepas ke Alam Bebas

Jum'at, 19 Maret 2021 - 14:27 WIB
loading...
Karena Perubahan Iklim,...
Mikroba C. auris merupakan jamur yang pertama kali ditemukan pada tahun 2009 pada seorang penderita di Jepang. Foto/statnews
A A A
BALTIMORE - Sebuah superbug rumah sakit yang mematikan telah ditemukan di pantai pulau terpencil, menandai pertama kalinya para peneliti melihat organisme anti-obat ini di alam bebas.

Temuan yang dipublikasikan Selasa (16 Maret) di jurnal mBio, dapat memberikan petunjuk tentang asal usul superbug ini -Candida auris- yang secara misterius muncul di rumah sakit di seluruh dunia sekitar satu dekade lalu.

"Ini adalah misteri medis, dari mana asalnya," kata dr Arturo Casadevall, ketua Departemen Mikrobiologi Molekuler dan Imunologi di Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg di Baltimore, penulis editorial yang menyertai penelitian tersebut.

"Penemuan baru ini adalah bagian yang sangat penting dari teka-teki," imbuh Casadevall kepada Live Science.

C. auris merupakan jamur yang pertama kali ditemukan pada tahun 2009 pada seorang penderita di Jepang. Tampaknya dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, muncul di tiga benua berbeda dalam waktu yang bersamaan. Mikroba dapat menyebabkan infeksi aliran darah yang serius, terutama pada pasien yang membutuhkan kateter, selang makanan atau selang pernapasan, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC).

Infeksi bisa sulit diobati karena mikroba sering resisten terhadap beberapa obat antijamur. Bahkan juga dapat bertahan di permukaan lingkungan. "Ketika masuk ke rumah sakit, itu mimpi buruk untuk pengendalian infeksi," tambah Casadevall.

Pada 2019, CDC menyatakan C. auris sebagai "ancaman mendesak" bagi kesehatan masyarakat. Meskipun spesies terkait telah terdeteksi di tumbuhan dan lingkungan perairan, C. auris belum ditemukan di lingkungan alami.

Casadevall dan rekannya berhipotesis bahwa peningkatan suhu akibat perubahan iklim mungkin telah menyebabkan C. auris beradaptasi dengan suhu yang lebih tinggi di alam bebas, dan dengan demikian memungkinkan jamur untuk melompat ke manusia, yang suhu tubuh normalnya biasanya terlalu panas untuk sebagian besar jamur untuk bertahan hidup.

Terinspirasi oleh hipotesis ini, penulis utama studi Dr Anuradha Chowdhary, ahli mikologi medis di Universitas Delhi, India, dan rekannya menganalisis sampel tanah dan air yang dikumpulkan dari delapan lokasi di sekitar Kepulauan Andaman, kepulauan tropis terpencil antara India dan Myanmar.

Para peneliti mengisolasi C. auris dari dua lokasi lahan basah rawa asin yang hampir tidak pernah dikunjungi orang. Serta pantai dengan lebih banyak aktivitas manusia.

"Isolat C. auris dari pantai semuanya resisten terhadap berbagai obat dan lebih dekat hubungannya dengan strain yang terlihat di rumah sakit dibandingkan isolat yang ditemukan di rawa," kata Chowdhary dalam sebuah pernyataan.

Satu isolat yang ditemukan di rawa tidak tahan obat dan tumbuh lebih lambat pada suhu tinggi dibandingkan dengan isolat lainnya. "Penemuan ini menunjukkan isolat ini mungkin merupakan strain C. auris yang 'lebih liar', yang belum beradaptasi dengan suhu tubuh yang tinggi pada manusia dan mamalia lain," tutur Casadevall.

Studi ini memberikan beberapa dukungan untuk hipotesis pemanasan global, karena pertama dan terpenting, mengidentifikasi C. auris di lingkungan alami, yang merupakan persyaratan untuk hipotesis, kata editorial tersebut. Selain itu, isolat yang 'lebih liar' bisa menjadi mata rantai yang hilang antara C. auris liar dan yang menyebabkan infeksi di rumah sakit.

Namun, penelitian tersebut tidak membuktikan bahwa C. auris secara alami hidup di Kepulauan Andaman, atau berasal dari sana. Kemungkinan mikroba tersebut telah diperkenalkan oleh manusia, terutama di lokasi pantai yang lebih banyak aktivitas manusia.

Di samping itu, beberapa peneliti bertanya apakah mikroba tersebut mungkin terbawa arus laut dari daerah di mana kotoran manusia dibuang ke air ke pantai Kepulauan Andaman.

"Penemuan baru kemungkinan akan memacu lebih banyak peneliti untuk mencari C. auris di lingkungan alami. Kemudian untuk membandingkan strain liar dengan yang berasal dari rumah sakit," kata Casadevall.

Studi juga dapat memeriksa apakah isolat C. auris liar dengan toleransi panas yang lebih rendah dapat "berevolusi" di laboratorium untuk tumbuh pada suhu yang lebih tinggi. Sehingga memberikan lebih banyak dukungan untuk hipotesis pemanasan global, kata editorial tersebut.

Jika memang terbukti bahwa C. auris berasal dari alam liar, dan bahwa pemanasan global merupakan faktor dalam lompatannya ke manusia, para peneliti khawatir bahwa lebih banyak patogen dapat membuat lompatan yang sama.

"Banyak organisme jamur berbahaya bagi serangga dan amfibi, tetapi tidak bagi manusia karena suhu tubuh kita yang tinggi," katanya mengingatkan.

"Jika ide ini divalidasi.... kami perlu mulai memetakan lebih banyak patogen yang ada di luar sana sehingga kami tidak terkejut, seperti kami dikejutkan oleh virus corona baru," pungkas Casadevall.
(iqb)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2351 seconds (0.1#10.140)