Ikan Mas Menu Favorit di Indonesia, tapi di Australia Jadi Hama Berbahaya

Minggu, 28 Maret 2021 - 20:20 WIB
loading...
Ikan Mas Menu Favorit di Indonesia, tapi di Australia Jadi Hama Berbahaya
Nelayan, Garry Warrick, menangkap ikan mas untuk pasar pupuk dan konsumsi manusia. Foto/ABC/Jessica Schremmer
A A A
SIDNEY - Bagi rakyat Indonesia, ikan mas adalah menu favorit yang bisa dijodohkan dengan lalapan, namun bagi Australia, mereka adalah hama berbahaya bagi ekosistemnya.

Berbahaya? Bagaimana tidak, para peneliti memperkirakan jumlah ikan mas di sana mencapai 360 juta ikan mas. Jumlah itu berpotensi menyumbat saluran air Australia dalam satu tahun "basah".

Saking berbahayanya, ternyata Australia membentuk program khusus untuk mengendalikan "hama" tersebut. Nama programnya Rencana Pengendalian Ikan Mas Nasional.

Laman abc.net.au melaporkan, para peneliti telah mengidentifikasi biomassa dan kepadatan spesies hama perusak dalam studi pertama di Australia yang diterbitkan dalam jurnal Biological Conservation. Tim peneliti mengumpulkan data dari 4.831 lokasi di berbagai tipe habitat termasuk sungai, danau, lahan basah, dan menggunakan pendekatan berbasis model untuk memperkirakan berapa banyak ikan mas yang ada di aliran air.

Ilmuwan utama Arthur Rylah Institute for Environmental Research, Jarod Lyon, mengatakan, 96% ikan mas diidentifikasi ditemukan di pantai timur. Di sana mereka menempati 54% lahan basah dan 97% sungai besar.

"Untuk mengukur ambang dampak kepadatan -jumlah ikan di air per satuan luas- studi tersebut menggunakan aturan 100 kg per hektare," kata Dr Lyon.

Lebih lanjut dia mengutarakan, ketika ikan mas mulai mendapatkan di atas 100 kg per hektare, maka mereka mulai berdampak pada semua jenis biota, vegetasi air, ikan asli, semua burung dan hewan lainnya. “Di beberapa lahan basah, kami menemukan tingkat hingga 1.000 kg per hektare -jauh di atas apa yang kami ketahui menyebabkan dampak pada lingkungan kami," imbuhnya.

Dr Lyon, mengatakan, beberapa situs adalah lahan basah di Victoria tengah, lahan basah dataran banjir di Lower Murray-Darling Basin Australia Selatan, dan daerah tangkapan Sungai Lachlan.

Ikan mas (Cyprinus carpio) dikenal karena menyedot lumpur dan berdampak negatif pada kualitas air. Karena itu, ikan itu merupakan ancaman nyata bagi keanekaragaman hayati Australia.

Mengontrol Populasi
Pemerintah federal pertama kali mengumumkan dana USD15 juta untuk Rencana Pengendalian Ikan Mas Nasional dan penelitian tentang potensi pelepasan virus herpes ikan mas yang kontroversial (Cyprinid herpesvirus-3). Virus ini dijadikan sebagai agen pengendali biologis untuk hama pada Mei 2016. Tetapi rencana tersebut telah ditunda beberapa kali dan tetap tidak lengkap.

Departemen Pertanian, Air, dan Lingkungan mengatakan sedang bekerja dengan Perusahaan Penelitian dan Pengembangan Perikanan (FRDC) dan Organisasi Riset Ilmiah dan Industri Persemakmuran (CSIRO), untuk menyelesaikan penelitian yang sedang berlangsung. Penelitian diharapkan akan selesai pada paruh kedua tahun 2021.

Departemen tersebut, mengatakan, selain mengintegrasikan penelitian ilmiah yang tersisa, rencana tersebut hampir selesai dan akan dipertimbangkan oleh semua Pemerintah Australia dan dirilis ke publik setelah selesai.

Tetapi banyak nelayan komersial, seperti Garry Warrick dari Barmera, di Riverland Australia Selatan, skeptis terhadap virus herpes ikan mas dan dampak ikan mas mati terhadap spesies asli lainnya.

"Anda tidak akan pernah bisa mengeluarkan semua karpernya, bahkan dengan virusnya," kata Warrick.

Dia mengatakan dirinya telah terlibat dalam beberapa percobaan untuk Rencana Pengendalian Ikan Mas Nasional yang dilakukan di perairan terpencil di Riverland. Dan dia takut akan hasilnya.

"Mereka menempatkan enam ton ikan mas mati ke perairan terpencil untuk melihat pengaruhnya terhadap air di belakang dan itu benar-benar membunuh semua ikan mas hidup di sungai karena mereka kehabisan oksigen dan air menjadi hitam," kata Warrick.

“Jadi, itu mungkin akan membunuh semua ikan asli di sana juga,” katanya khawatir.
(iqb)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2308 seconds (0.1#10.140)