Studi: 80 Persen Masalah Covid-19 Soal Psikologis dan Stres
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gugus Tugas Covid-19 Indonesia melaporkan bahwa 80% masalah Covid-19 adalah masalah psikologis, sedangkan sisanya adalah masalah kesehatan fisik.
Artinya, problem psikologis memegang peranan besar saat menghadapi pandemi. Ini juga dibuktikan dengan studi lainnya. Survei yang dilakukan Ikatan Psikiater Indonesia menunjukkan bahwa dari 1.552 responden, 63% mengaku mengalami kecemasan dan 66% mengalami depresi akibat pandemi.
Banyak yang tidak sadar bahwa mereka mengalami puncak tekanan emosional dan rasa putus asa. Mengapa? Ada banyak alasannya.
● Sejak muncul di awal tahun 2020, masyarakat dipaksa menjaga jarak dengan siapapun di sekitarnya.
● Masyarakat dipaksa menghindari pergi ke tempat-tempat ramai atau bahkan kemana saja.
● Banyak yang kehilangan pekerjaan dan kehilangan mata pencaharian.
● Virtual calls, video conferences, dan tugas daring tak ada habisnya yang harus di alami anak-anak bersekolah atau bagi dewasa muda yang masih bekerja.
● Work from Home mengaburkan batas pekerjaan, rumah, dan keintiman.
● Tidak ada waktu yang berakhir untuk bekerja, menyebabkan pasangan stres, dan cemas, hingga berdampak pada kesehatan mental serta kualitas hubungan.
● Di media sosial, banyak twit dan unggahan tentang kegelisahan dan perjuangan hidup sehari-hari. Hanya 14% orang yang merasa bahwa hubungan mereka saat ini dalam keadaan baik baik saja2.
Psikolog klinis Inez Kristanti mengatakan bahwa selain berfokus untuk menjaga kesehatan fisik, juga perlu menjaga kesehatan mental dan memastikan kewarasan orang terdekat.
”Sejak Work from Home, batasan ranah dan waktu untuk pekerjaan dan beristirahat beberapa orang menjadi lebih kabur. Seolah-olah, kita bisa santai. Namun senantiasa siaga juga untuk pekerjaan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membuat partisi dan batasan waktu yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dengan mengambil waktu istirahat kita bisa mendedikasikan waktu secara spesifik untuk me-recharge diri kita dengan apa yang bisa membuat kita senang dan rileks.
Menurutnya, salah satu yang penting dalam waktu istirahat atau break time adalah kualitasnya, dan bukan selalu terkait dengan intensitas.
”Waktu beristirahat dapat berguna untuk memulihkan kesehatan secara keseluruhan, memfokuskan kembali pada apa yang penting dalam hidup, dan mengembalikan keintiman,” ujarnya.
Artinya, problem psikologis memegang peranan besar saat menghadapi pandemi. Ini juga dibuktikan dengan studi lainnya. Survei yang dilakukan Ikatan Psikiater Indonesia menunjukkan bahwa dari 1.552 responden, 63% mengaku mengalami kecemasan dan 66% mengalami depresi akibat pandemi.
Baca Juga
Banyak yang tidak sadar bahwa mereka mengalami puncak tekanan emosional dan rasa putus asa. Mengapa? Ada banyak alasannya.
● Sejak muncul di awal tahun 2020, masyarakat dipaksa menjaga jarak dengan siapapun di sekitarnya.
● Masyarakat dipaksa menghindari pergi ke tempat-tempat ramai atau bahkan kemana saja.
● Banyak yang kehilangan pekerjaan dan kehilangan mata pencaharian.
● Virtual calls, video conferences, dan tugas daring tak ada habisnya yang harus di alami anak-anak bersekolah atau bagi dewasa muda yang masih bekerja.
● Work from Home mengaburkan batas pekerjaan, rumah, dan keintiman.
● Tidak ada waktu yang berakhir untuk bekerja, menyebabkan pasangan stres, dan cemas, hingga berdampak pada kesehatan mental serta kualitas hubungan.
● Di media sosial, banyak twit dan unggahan tentang kegelisahan dan perjuangan hidup sehari-hari. Hanya 14% orang yang merasa bahwa hubungan mereka saat ini dalam keadaan baik baik saja2.
Psikolog klinis Inez Kristanti mengatakan bahwa selain berfokus untuk menjaga kesehatan fisik, juga perlu menjaga kesehatan mental dan memastikan kewarasan orang terdekat.
”Sejak Work from Home, batasan ranah dan waktu untuk pekerjaan dan beristirahat beberapa orang menjadi lebih kabur. Seolah-olah, kita bisa santai. Namun senantiasa siaga juga untuk pekerjaan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membuat partisi dan batasan waktu yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dengan mengambil waktu istirahat kita bisa mendedikasikan waktu secara spesifik untuk me-recharge diri kita dengan apa yang bisa membuat kita senang dan rileks.
Menurutnya, salah satu yang penting dalam waktu istirahat atau break time adalah kualitasnya, dan bukan selalu terkait dengan intensitas.
”Waktu beristirahat dapat berguna untuk memulihkan kesehatan secara keseluruhan, memfokuskan kembali pada apa yang penting dalam hidup, dan mengembalikan keintiman,” ujarnya.
(dan)