Hindari Ancaman Longsor, Begini Filosofi Penataan Kampung Tradisional Sunda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penataan kampung dan perumahan tradisional masyarakat Sunda (Jawa Barat) ternyata sarat dengan perhitungan yang matang untuk mengantisipasi bencana dan selaras dengan alam. Mengingat geografis wilayah Jawa Barat yang berbukit dan bergunung, maka perumahan dan perkampungan ditata sedemikian rupa dengan kaidah-kaidah budaya lokal yang harus dipatuhi.
Dari penelitian yang dilakukan M Arief Wibowo, seorang arsitek lulusan ITB yang sedang menyusun buku “Peradaban Sunda Kuno: Sebuah Gambaran Utuh” ditemukan beberapa kaidah dan nilai kearifan lokal dalam membangun rumah dan perkampungan masyarakat Sunda. Semua itu dilakukan untuk menyesuaikan dengan alam dan menghindari ancaman potensi bencana alam.
“Dari penelitian saya terhadap 7 kampung tradisional Sunda, Kalau Anda mendirikan sebuah permukiman, harus berada di kontur tanah yang lebih rendah dari hutan di dekatnya. Lalu kalau pemukiman sudah berdiri, hutan tersebut akan menjadi hutan larangan dan tidak boleh ditebang pohonnya maupun diubah kontur tanahnya,” tulis M Arif Wibowo dalam akun Grup Facebook Sejarah Sunda.
Dia menjelaskan, pohon yang boleh ditebang hanya yang berada di daerah yang lebih rendah dari permukiman. Kemudian tempat bekerja terbuka, yaitu ladang atau sawah, harus berada di kontur yang lebih rendah dari area permukiman. (Baca juga; Kampung Adat Praijing, Museum Budaya Sumba Barat )
“Ketika mendirikan rumah-rumah di area permukiman, Anda tidak boleh mengubah sedikit pun kontur tanahnya. Anda hanya boleh mengatur panjangnya kaki-kaki bangunan (ingat, semua rumah Sunda adalah rumah panggung dari bahan bambu atau kayu) supaya lantai di dalam rumah datar,” ujarnya.
Rumah-rumah itu harus memanjang ke arah hutan larangan. Untuk kebutuhan air minum tidak boleh mengambil air dari dalam tanah, melainkan hanya boleh ambil air dari permukaan, air sungai misalnya. “Saya jadi merenungkan konsep penataan pemukiman tradisional Sunda di atas. Sebagai arsitek, saya menemukan banyak hal yang ternyata cukup cerdas,” katanya.
Beberapa konsep yang dimaksud, antara lain;
Adanya hutan di kontur tanah yang lebih tinggi dari pemukiman dan tidak boleh diubah isinya. Itu berfungsi sebagai daerah resapan air dan akar-akar pohon berfungsi untuk mengikat tanah agar tidak longsor ke arah pemukiman.
Tidak boleh mengambil air tanah dan hanya boleh mengambil air di permukaan, mencegah kekosongan lapisan tanah bagian bawah agar tidak menyebabkan penurunan permukaan tanah. Ini bertujuan untuk menyokong bangunan permukiman di atasnya. (Baca juga; Kembangkan Makanan Tradisional, Bro Kitchen Sukses Ekspansi Puluhan Outlet )
Membangun rumah memanjang ke arah hutan yang letaknya lebih tinggi dari area permukiman. Konsep ini bermanfaat ketika terjadi hujan dan air turun dari daerah yang lebih tinggi, maka bangunan rumah tidak menghalangi aliran air itu. Air bisa mengalir bebas di antara rumah dengan rumah.
Rumah tradisional Sunda selalu berbentuk rumah panggung yang memiliki kolong. Ketika terjadi hujan, bentuk rumah seperti ini memungkinkan air melewati kolong rumah. Tidak akan ada air yang menabrak dinding bangunan ataupun masuk ke dalam rumah.
“Apakah kita sudah lupa dengan kearifan-kearifan lokal ini? Barangkali jawaban dari banyak masalah lingkungan yang kita hadapi saat ini sebenarnya terletak di tradisi-tradisi hidup yang sudah dipraktikkan oleh para pendahulu kita berabad-abad lamanya,” tulis M Arie Wibowo.
Dari penelitian yang dilakukan M Arief Wibowo, seorang arsitek lulusan ITB yang sedang menyusun buku “Peradaban Sunda Kuno: Sebuah Gambaran Utuh” ditemukan beberapa kaidah dan nilai kearifan lokal dalam membangun rumah dan perkampungan masyarakat Sunda. Semua itu dilakukan untuk menyesuaikan dengan alam dan menghindari ancaman potensi bencana alam.
“Dari penelitian saya terhadap 7 kampung tradisional Sunda, Kalau Anda mendirikan sebuah permukiman, harus berada di kontur tanah yang lebih rendah dari hutan di dekatnya. Lalu kalau pemukiman sudah berdiri, hutan tersebut akan menjadi hutan larangan dan tidak boleh ditebang pohonnya maupun diubah kontur tanahnya,” tulis M Arif Wibowo dalam akun Grup Facebook Sejarah Sunda.
Dia menjelaskan, pohon yang boleh ditebang hanya yang berada di daerah yang lebih rendah dari permukiman. Kemudian tempat bekerja terbuka, yaitu ladang atau sawah, harus berada di kontur yang lebih rendah dari area permukiman. (Baca juga; Kampung Adat Praijing, Museum Budaya Sumba Barat )
“Ketika mendirikan rumah-rumah di area permukiman, Anda tidak boleh mengubah sedikit pun kontur tanahnya. Anda hanya boleh mengatur panjangnya kaki-kaki bangunan (ingat, semua rumah Sunda adalah rumah panggung dari bahan bambu atau kayu) supaya lantai di dalam rumah datar,” ujarnya.
Rumah-rumah itu harus memanjang ke arah hutan larangan. Untuk kebutuhan air minum tidak boleh mengambil air dari dalam tanah, melainkan hanya boleh ambil air dari permukaan, air sungai misalnya. “Saya jadi merenungkan konsep penataan pemukiman tradisional Sunda di atas. Sebagai arsitek, saya menemukan banyak hal yang ternyata cukup cerdas,” katanya.
Beberapa konsep yang dimaksud, antara lain;
Adanya hutan di kontur tanah yang lebih tinggi dari pemukiman dan tidak boleh diubah isinya. Itu berfungsi sebagai daerah resapan air dan akar-akar pohon berfungsi untuk mengikat tanah agar tidak longsor ke arah pemukiman.
Tidak boleh mengambil air tanah dan hanya boleh mengambil air di permukaan, mencegah kekosongan lapisan tanah bagian bawah agar tidak menyebabkan penurunan permukaan tanah. Ini bertujuan untuk menyokong bangunan permukiman di atasnya. (Baca juga; Kembangkan Makanan Tradisional, Bro Kitchen Sukses Ekspansi Puluhan Outlet )
Membangun rumah memanjang ke arah hutan yang letaknya lebih tinggi dari area permukiman. Konsep ini bermanfaat ketika terjadi hujan dan air turun dari daerah yang lebih tinggi, maka bangunan rumah tidak menghalangi aliran air itu. Air bisa mengalir bebas di antara rumah dengan rumah.
Rumah tradisional Sunda selalu berbentuk rumah panggung yang memiliki kolong. Ketika terjadi hujan, bentuk rumah seperti ini memungkinkan air melewati kolong rumah. Tidak akan ada air yang menabrak dinding bangunan ataupun masuk ke dalam rumah.
“Apakah kita sudah lupa dengan kearifan-kearifan lokal ini? Barangkali jawaban dari banyak masalah lingkungan yang kita hadapi saat ini sebenarnya terletak di tradisi-tradisi hidup yang sudah dipraktikkan oleh para pendahulu kita berabad-abad lamanya,” tulis M Arie Wibowo.
(wib)