Untuk Kedua Kali La Nina Kembali pada Musim Dingin Tahun Ini, Apa Dampaknya di Indonesia?
loading...
A
A
A
FENOMENA La Nina kembali lagi untuk kedua kali secara berturut-turut pada musim dingin tahun ini. Fenomena La Nina diperkirakan akan bertahan hingga 2022, bahkan di belahan Bumi utara setidaknya sampai musim semi.
Fenomena La Nina ini ditangkap satelit Sentinel-6 Michael Freilich dan dianalisis oleh para ilmuwan di Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA. Gambar globe di atas menunjukkan anomali ketinggian permukaan laut yang diamati pada 26 November hingga 5 Desember 2021.
Apa dampak La Nina yang dirasakan bagi Indonesia? La Nina menjadi salah satu faktor yang menyebabkan musim hujan di Indonesia, selain angin muson. La Nina menyebabkan udara terasa lebih dingin dan curah hujan menjadi lebih tinggi. (Baca juga; Dampak 3 Siklon Aktif, BMKG: Puncak La Nina Terjadi Desember-Maret )
Dalam laporan yang dirilis pada 9 Desember 2021, Pusat Prediksi Iklim NOAA mencatat suhu permukaan laut pada bulan November di Pasifik tropis timur antara 0,7 hingga 1,2 derajat Celcius di bawah rata-rata. Para ilmuwan memperkirakan kondisi La Nina akan bertahan selama musim dingin Belahan Bumi Utara dan akan bertransisi kembali ke kondisi netral selama periode April hingga Juni 2022.
Selama La Nina, curah hujan dapat meningkat secara dramatis di Indonesia dan Australia. Awan dan curah hujan menjadi lebih sporadis di tengah dan timur Samudra Pasifik. Di Amerika Utara, kondisi menjadi lebih dingin dan banyak badai. Berbeda dengan Amerika Serikat bagian selatan dan Meksiko utara cuaca menjadi lebih hangat dan kering.
Pada globe yang terekam satelit, warna biru menunjukkan suhu permukaan laut yang lebih rendah dari rata-rata; warna putih menunjukkan kondisi permukaan laut normal; dan warna merah menunjukkan kondisi permukaan laut lebih tinggi dari biasanya. (Baca juga; BMKG Tegaskan La Nina Bukan Badai, Ini Penjelasannya )
“La Nina dengan kekuatan sedang ini dapat dilihat pada data Sentinel-6 sebagai area dengan permukaan laut yang suhunya lebih rendah dari normal di sepanjang dan di bawah Khatulistiwa, Pasifik tengah dan timur,” kata Josh Willis, ilmuwan iklim dan ahli kelautan di JPL dikutip SINDOnews dari laman earthobservatory.nasa, Senin (13/12/2021).
Ketika terjadi fenomena La Nina, Suhu Muka Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan hingga di bawah suhu normal. Pendinginan ini berpotensi mengurangi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah.
Selain itu, angin pasat (trade winds) berembus lebih kuat dari biasanya di sepanjang Samudera Pasifik dari Amerika Selatan ke Indonesia. Kondisi ini menyebabkan massa air hangat terbawa ke arah Pasifik Barat.
Karena massa air hangat berpindah tempat, maka air yang lebih dingin di bawah laut Pasifik akan naik ke permukaan untuk mengganti massa air hangat yang berpindah tadi. Kondisi ini disebut upwelling dan membuat SML turun. Kondisi ini mengakibatkan curah hujan di wilayah Indonesia makin tinggi, serta membuat musim hujan terjadi lebih lama.
Fenomena La Nina ini ditangkap satelit Sentinel-6 Michael Freilich dan dianalisis oleh para ilmuwan di Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA. Gambar globe di atas menunjukkan anomali ketinggian permukaan laut yang diamati pada 26 November hingga 5 Desember 2021.
Apa dampak La Nina yang dirasakan bagi Indonesia? La Nina menjadi salah satu faktor yang menyebabkan musim hujan di Indonesia, selain angin muson. La Nina menyebabkan udara terasa lebih dingin dan curah hujan menjadi lebih tinggi. (Baca juga; Dampak 3 Siklon Aktif, BMKG: Puncak La Nina Terjadi Desember-Maret )
Dalam laporan yang dirilis pada 9 Desember 2021, Pusat Prediksi Iklim NOAA mencatat suhu permukaan laut pada bulan November di Pasifik tropis timur antara 0,7 hingga 1,2 derajat Celcius di bawah rata-rata. Para ilmuwan memperkirakan kondisi La Nina akan bertahan selama musim dingin Belahan Bumi Utara dan akan bertransisi kembali ke kondisi netral selama periode April hingga Juni 2022.
Selama La Nina, curah hujan dapat meningkat secara dramatis di Indonesia dan Australia. Awan dan curah hujan menjadi lebih sporadis di tengah dan timur Samudra Pasifik. Di Amerika Utara, kondisi menjadi lebih dingin dan banyak badai. Berbeda dengan Amerika Serikat bagian selatan dan Meksiko utara cuaca menjadi lebih hangat dan kering.
Pada globe yang terekam satelit, warna biru menunjukkan suhu permukaan laut yang lebih rendah dari rata-rata; warna putih menunjukkan kondisi permukaan laut normal; dan warna merah menunjukkan kondisi permukaan laut lebih tinggi dari biasanya. (Baca juga; BMKG Tegaskan La Nina Bukan Badai, Ini Penjelasannya )
“La Nina dengan kekuatan sedang ini dapat dilihat pada data Sentinel-6 sebagai area dengan permukaan laut yang suhunya lebih rendah dari normal di sepanjang dan di bawah Khatulistiwa, Pasifik tengah dan timur,” kata Josh Willis, ilmuwan iklim dan ahli kelautan di JPL dikutip SINDOnews dari laman earthobservatory.nasa, Senin (13/12/2021).
Ketika terjadi fenomena La Nina, Suhu Muka Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan hingga di bawah suhu normal. Pendinginan ini berpotensi mengurangi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah.
Selain itu, angin pasat (trade winds) berembus lebih kuat dari biasanya di sepanjang Samudera Pasifik dari Amerika Selatan ke Indonesia. Kondisi ini menyebabkan massa air hangat terbawa ke arah Pasifik Barat.
Karena massa air hangat berpindah tempat, maka air yang lebih dingin di bawah laut Pasifik akan naik ke permukaan untuk mengganti massa air hangat yang berpindah tadi. Kondisi ini disebut upwelling dan membuat SML turun. Kondisi ini mengakibatkan curah hujan di wilayah Indonesia makin tinggi, serta membuat musim hujan terjadi lebih lama.
(wib)