Penurunan Jumlah Sperma Ancam Kelangsungan Hidup Manusia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jumlah sperma pria di seluruh dunia sedang mengalami penurunan yang mengkhawatirkan yang, jika tidak dikendalikan, dapat mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Hal itu diungkap Profesor Hagai Levine dari Hebrew University, Israel baru-baru ini.
Diketahui Profesor Hagai Levine dan beberapa rekanya telah melakukan 233 studi tentang jumlah sperma dari 53 negara berbeda di seluruh dunia. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa penurunan jumlah sperma yang sebelumnya terjadi di Eropa, Australia, dan Amerika Utara justru terjadi di wilayah lainnya. Artinya kondisi itu bersifat universal dan berlangsung semakin cepat di abad ke-21.
Diketahui, jumlah sperma bukan hanya indikator kesuburan manusia, tapi juga indikator kesehatan pria secara umum. Jumlah yang rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kronis, kanker testis, dan rentang hidup yang lebih pendek.
“Secara keseluruhan, kami melihat penurunan jumlah sperma yang signifikan di seluruh dunia lebih dari 50 persen dalam 46 tahun terakhir, penurunan yang semakin cepat dalam beberapa tahun terakhir," ucap Profesor Hagai Levine.
Penelitian itu memang tidak meneliti penyebab jumlah sperma yang memburuk. Namun dalam penelitian itu memang diketahui adanya koneksi antara gangguan dalam perkembangan saluran reproduksi dural janin dengan gangguan kesuburan. Hal itu jadi bukti adanya disfungsi reproduksi.
Hanya saja menurut Profesor Hagai Levine gangguan itu bisa saja terjadi akibat oilihan gaya hidup dan konsumsi bahan kimia di lingkungan.
“Ini masalah serius yang, jika tidak dikurangi, dapat mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Kami mendesak tindakan global untuk mempromosikan lingkungan yang lebih sehat dan mengurangi paparan dan perilaku yang mengancam kesehatan reproduksi kita," harapnya.
Diketahui Profesor Hagai Levine dan beberapa rekanya telah melakukan 233 studi tentang jumlah sperma dari 53 negara berbeda di seluruh dunia. Dalam penelitian itu ditemukan bahwa penurunan jumlah sperma yang sebelumnya terjadi di Eropa, Australia, dan Amerika Utara justru terjadi di wilayah lainnya. Artinya kondisi itu bersifat universal dan berlangsung semakin cepat di abad ke-21.
Diketahui, jumlah sperma bukan hanya indikator kesuburan manusia, tapi juga indikator kesehatan pria secara umum. Jumlah yang rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kronis, kanker testis, dan rentang hidup yang lebih pendek.
“Secara keseluruhan, kami melihat penurunan jumlah sperma yang signifikan di seluruh dunia lebih dari 50 persen dalam 46 tahun terakhir, penurunan yang semakin cepat dalam beberapa tahun terakhir," ucap Profesor Hagai Levine.
Penelitian itu memang tidak meneliti penyebab jumlah sperma yang memburuk. Namun dalam penelitian itu memang diketahui adanya koneksi antara gangguan dalam perkembangan saluran reproduksi dural janin dengan gangguan kesuburan. Hal itu jadi bukti adanya disfungsi reproduksi.
Hanya saja menurut Profesor Hagai Levine gangguan itu bisa saja terjadi akibat oilihan gaya hidup dan konsumsi bahan kimia di lingkungan.
“Ini masalah serius yang, jika tidak dikurangi, dapat mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Kami mendesak tindakan global untuk mempromosikan lingkungan yang lebih sehat dan mengurangi paparan dan perilaku yang mengancam kesehatan reproduksi kita," harapnya.