Bisakah Suatu Negara Menguasai Bulan? Ini Alasan AS, Rusia, dan China Bersaing
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Rusia, dan China, berusaha mengeksplorasi luar angkasa, termasuk mengirim misi khusus ke Bulan . Apakah mereka ingin menguasai Bulan?
Amerika Serikat dan China tercatat pernah membentangkan bendera negara di permukaan Bulan. Namun, jika ditanyakan kepada pejabat mana pun dari kedua negara, mereka akan memberi tahu bahwa bendera-bendera ini tidak mewakili klaim properti apa pun.
Pemikiran untuk menguasai Bulan mulai muncul ketika Sputnik 1 Uni Soviet, satelit buatan pertama di dunia, melesat melintasi langit pada Oktober 1957. Selama dekade berikutnya, komunitas internasional menyusun Outer Space Treaty of 1967 (OST), dokumen hukum pertama di dunia yang secara eksplisit berkaitan dengan eksplorasi ruang angkasa.
Perjanjian ini tetap menjadi hukum antariksa yang paling berpengaruh, meskipun faktanya tidak mengikat secara teknis. “Ini bukan kode etik. Itu hanya pedoman dan prinsip,” kata Michelle Hanlon, pakar hukum luar angkasa di University of Mississippi School of Law dikutip dari laman Live Science, Senin (5/12/2022).
Meskipun kurangnya penegakan, OST mengatur tentang negara-negara yang hendak menguasai tanah di luar angkasa. Pasal 2 perjanjian OST secara eksplisit mengesampingkan kemungkinan suatu negara mengklaim kepemilikan bagian ruang angkasa atau benda langit apa pun.
“Suatu negara tidak dapat mengklaim kedaulatan di Bulan, titik,” tegas Hanlon. Masalah belum selesai, karena banyak rencana berbagai negara dan badan komersial untuk membangun struktur seperti pangkalan dan koloni di Bulan.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang berlaku di ruang angkasa berdasarkan Pasal 3 OST, menyatakan bahwa individu memiliki hak mendasar untuk memiliki properti. Artinya, secara hipotetis, siapa pun dapat membangun rumah di Bulan dan mengklaimnya sebagai miliknya.
Namun, Pasal 12 OST memasukkan ketentuan yang dapat menggagalkan upaya tersebut. Disebutkan bahwa setiap instalasi pada benda langit harus dapat digunakan oleh semua pihak. Dengan kata lain, kata Hanlon, itu harus berfungsi sebagai ruang publik.
Baru-baru ini, NASA berusaha untuk mengisi beberapa celah hukum antariksa dengan Artemis Accords. Sebuah perjanjian internasional yang dirancang untuk memperlancar eksplorasi di masa depan. Dibangun di atas Perjanjian Luar Angkasa, perjanjian tersebut menjabarkan serangkaian prinsip tidak mengikat yang mengatur aktivitas di beberapa benda langit, termasuk Bulan.
Di antara ketentuannya adalah pengakuan atas wilayah bulan tertentu, seperti situs pendaratan satelit Luna Rusia dan jejak kaki Neil Armstrong, sebagai warisan luar angkasa yang dilindungi. Namun secara khusus, perjanjian tersebut juga memungkinkan entitas untuk mengekstraksi dan menggunakan sumber daya luar angkasa, namun tidak disukai semua negara.
21 negara telah menandatangani perjanjian ini, meskipun beberapa pemain utama, termasuk Rusia, telah menolak klausul ini. Mereka menganggap tidak adil dan memberikan keuntungan bagi kepentingan bisnis Amerika.
Ada jalan lain untuk mengklaim properti tanpa benar-benar mengklaim properti di Bulan. Misalnya, penggunaan peralatan ilmiah, seperti penjelajah atau seismometer stasioner, berpotensi berubah menjadi klaim tanah de facto jika tim peneliti melarang orang lain mendekati peralatan mereka.
Semua ini pasti akan menjadi masalah hukum dalam beberapa dekade mendatang. “kita harus benar-benar berhati-hati tentang bagaimana kita melanjutkan secara bertanggung jawab,” kata Hanlon.
Amerika Serikat dan China tercatat pernah membentangkan bendera negara di permukaan Bulan. Namun, jika ditanyakan kepada pejabat mana pun dari kedua negara, mereka akan memberi tahu bahwa bendera-bendera ini tidak mewakili klaim properti apa pun.
Pemikiran untuk menguasai Bulan mulai muncul ketika Sputnik 1 Uni Soviet, satelit buatan pertama di dunia, melesat melintasi langit pada Oktober 1957. Selama dekade berikutnya, komunitas internasional menyusun Outer Space Treaty of 1967 (OST), dokumen hukum pertama di dunia yang secara eksplisit berkaitan dengan eksplorasi ruang angkasa.
Baca Juga
Perjanjian ini tetap menjadi hukum antariksa yang paling berpengaruh, meskipun faktanya tidak mengikat secara teknis. “Ini bukan kode etik. Itu hanya pedoman dan prinsip,” kata Michelle Hanlon, pakar hukum luar angkasa di University of Mississippi School of Law dikutip dari laman Live Science, Senin (5/12/2022).
Meskipun kurangnya penegakan, OST mengatur tentang negara-negara yang hendak menguasai tanah di luar angkasa. Pasal 2 perjanjian OST secara eksplisit mengesampingkan kemungkinan suatu negara mengklaim kepemilikan bagian ruang angkasa atau benda langit apa pun.
“Suatu negara tidak dapat mengklaim kedaulatan di Bulan, titik,” tegas Hanlon. Masalah belum selesai, karena banyak rencana berbagai negara dan badan komersial untuk membangun struktur seperti pangkalan dan koloni di Bulan.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang berlaku di ruang angkasa berdasarkan Pasal 3 OST, menyatakan bahwa individu memiliki hak mendasar untuk memiliki properti. Artinya, secara hipotetis, siapa pun dapat membangun rumah di Bulan dan mengklaimnya sebagai miliknya.
Namun, Pasal 12 OST memasukkan ketentuan yang dapat menggagalkan upaya tersebut. Disebutkan bahwa setiap instalasi pada benda langit harus dapat digunakan oleh semua pihak. Dengan kata lain, kata Hanlon, itu harus berfungsi sebagai ruang publik.
Baru-baru ini, NASA berusaha untuk mengisi beberapa celah hukum antariksa dengan Artemis Accords. Sebuah perjanjian internasional yang dirancang untuk memperlancar eksplorasi di masa depan. Dibangun di atas Perjanjian Luar Angkasa, perjanjian tersebut menjabarkan serangkaian prinsip tidak mengikat yang mengatur aktivitas di beberapa benda langit, termasuk Bulan.
Di antara ketentuannya adalah pengakuan atas wilayah bulan tertentu, seperti situs pendaratan satelit Luna Rusia dan jejak kaki Neil Armstrong, sebagai warisan luar angkasa yang dilindungi. Namun secara khusus, perjanjian tersebut juga memungkinkan entitas untuk mengekstraksi dan menggunakan sumber daya luar angkasa, namun tidak disukai semua negara.
21 negara telah menandatangani perjanjian ini, meskipun beberapa pemain utama, termasuk Rusia, telah menolak klausul ini. Mereka menganggap tidak adil dan memberikan keuntungan bagi kepentingan bisnis Amerika.
Ada jalan lain untuk mengklaim properti tanpa benar-benar mengklaim properti di Bulan. Misalnya, penggunaan peralatan ilmiah, seperti penjelajah atau seismometer stasioner, berpotensi berubah menjadi klaim tanah de facto jika tim peneliti melarang orang lain mendekati peralatan mereka.
Semua ini pasti akan menjadi masalah hukum dalam beberapa dekade mendatang. “kita harus benar-benar berhati-hati tentang bagaimana kita melanjutkan secara bertanggung jawab,” kata Hanlon.
(wib)