Mengenal Snap Back Zone, Fenomena Kibasan Tali Putus yang Bisa Menewaskan Orang Seketika
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peristiwa tewasnya seorang peserta tarik tambang, Masyita , Makassar, Sulawasi Selatan baru-baru ini membuat banyak orang terhenyak. Pasalnya acara yang harusnya riang gembira itu berujung duka cita.
Banyak orang juga tidak menyangka bagaimana lomba yang biasa digelar dalam berbagai acara itu bisa menewaskan Masyita. Memang saat ini berita menyebutkan Masyita tewas karena terbentur separator atau pembatas jalan yang terbuat dari beton.
Padahal ada fenomena ilmiah dimana tarik tambang yang diikuti Masyita memang berpotensi membahayakan. Fenomena itu adalah Snap Back Zone atau zona kibasan tali putus. Fenomena tersebut umumnya sering ditemukan setiap kapal laut bersandar di dermaga.
Saat bersandar atau menambatkan kapal (mooring), biasanya kru kapal laut akan mengaitkan atau mengikatkan kapal dengan menggunakan tali baja, tambang, atau material sintetis lainnya. Namun di saat itulah proses mooring jadi berbahaya apabila tali yang digunakan putus.
Untuk melakukan mooring dibutuhkan banyak perlengkapan seperti winches, hydraulic motors, bollards, piping valves, anchor chain, dan lain-lain. Kombinasi antara orang, proses, dan peralatan dimana apabila salah satu atau lebih tidak sesuai dengan standar keselamatan, maka akan sangat berpotensi mengakibatkan kecelakaan. Hal itulah yang membuat operasi mooring merupakan aktivitas yang beresiko tinggi di kapal.
Umumnya mooring akan sangat berbahaya jika wire dan tali yang digunakan sudah usang atau rusak, peralatan mooring yang tidak terawat, hingga kesalahan langsung dari penjaga mooring yang tidak awas pada potensi terjadinya Snap Back Zone (Zona Snap Back) dan Rope Bight (Lilitan Tali). Hingga kini Zona Snap Back merupakan salah satu peristiwa kecelakaan paling tinggi yang bisa menewaskan kru kapal dalam setiap kegagalan proses mooring.
Pasalnya Zona Snap Back merupakan fenomena dimana tali yang digunakan untuk mengikat justru terputus. Tali yang terputus itu kemudian menghasilkan kekuatan yang cukup untuk membunuh kru kapal laut yang kebetulan berada di Zona Snap Back.
Energi kinetik yang dihasilkan saat tali terputus tidak hanya bisa membuat orang yang berada di Zona Snap Back terlempar tapi juga tewas seketika. Itulah mengapa hingga kini tewasnya kru kapal laut paling banyak disebabkan oleh Zona Snap Back.
Guna menghindari hal-hal yang merugikan akibat kibasan tali putus, area mooring akan selalu memiliki penanda khusus untuk Zona Snap Back. Jadi kru kapal bisa menjaga diri mereka dari hal-hal yang merugikan apabila tali yang digunakan untuk menambatkan kapal laut tiba-tiba terputus.
Enrico Jordan Reza Nanda, dalam laporannya ke Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang yang berjudul Optimalisasi Penerapan Snap Back Zone Guna Keselamatan Saat Proses Berthing dan Unberthing menyebutkan tingginya tingkat kematian akibat Zona Snap Back disebabkan oleh pengetahuan crew yang kurang dan tidak terampil, perawatan marking dengan metode pengecatan yang salah, kurangnya koordinasi antara pihak kapal dan perusahaan dan pelaksanaan PMS (plain maintenance system) yang kurang baik.
"Untuk menghindari kecelakaan di Zona Snap Back perlu adanya safety meeting secara rutin bagi crew, pemaksimalan dalam perawatan snap back zone dengan metode pengecatan yang benar, meningkatkan koordinasi antara pihak kapal dengan perusahaan serta melaksanakan PMS (plain maintenance system) dengan baik dan benar," tulisnya.
Banyak orang juga tidak menyangka bagaimana lomba yang biasa digelar dalam berbagai acara itu bisa menewaskan Masyita. Memang saat ini berita menyebutkan Masyita tewas karena terbentur separator atau pembatas jalan yang terbuat dari beton.
Padahal ada fenomena ilmiah dimana tarik tambang yang diikuti Masyita memang berpotensi membahayakan. Fenomena itu adalah Snap Back Zone atau zona kibasan tali putus. Fenomena tersebut umumnya sering ditemukan setiap kapal laut bersandar di dermaga.
Saat bersandar atau menambatkan kapal (mooring), biasanya kru kapal laut akan mengaitkan atau mengikatkan kapal dengan menggunakan tali baja, tambang, atau material sintetis lainnya. Namun di saat itulah proses mooring jadi berbahaya apabila tali yang digunakan putus.
Untuk melakukan mooring dibutuhkan banyak perlengkapan seperti winches, hydraulic motors, bollards, piping valves, anchor chain, dan lain-lain. Kombinasi antara orang, proses, dan peralatan dimana apabila salah satu atau lebih tidak sesuai dengan standar keselamatan, maka akan sangat berpotensi mengakibatkan kecelakaan. Hal itulah yang membuat operasi mooring merupakan aktivitas yang beresiko tinggi di kapal.
Umumnya mooring akan sangat berbahaya jika wire dan tali yang digunakan sudah usang atau rusak, peralatan mooring yang tidak terawat, hingga kesalahan langsung dari penjaga mooring yang tidak awas pada potensi terjadinya Snap Back Zone (Zona Snap Back) dan Rope Bight (Lilitan Tali). Hingga kini Zona Snap Back merupakan salah satu peristiwa kecelakaan paling tinggi yang bisa menewaskan kru kapal dalam setiap kegagalan proses mooring.
Pasalnya Zona Snap Back merupakan fenomena dimana tali yang digunakan untuk mengikat justru terputus. Tali yang terputus itu kemudian menghasilkan kekuatan yang cukup untuk membunuh kru kapal laut yang kebetulan berada di Zona Snap Back.
Energi kinetik yang dihasilkan saat tali terputus tidak hanya bisa membuat orang yang berada di Zona Snap Back terlempar tapi juga tewas seketika. Itulah mengapa hingga kini tewasnya kru kapal laut paling banyak disebabkan oleh Zona Snap Back.
Guna menghindari hal-hal yang merugikan akibat kibasan tali putus, area mooring akan selalu memiliki penanda khusus untuk Zona Snap Back. Jadi kru kapal bisa menjaga diri mereka dari hal-hal yang merugikan apabila tali yang digunakan untuk menambatkan kapal laut tiba-tiba terputus.
Enrico Jordan Reza Nanda, dalam laporannya ke Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang yang berjudul Optimalisasi Penerapan Snap Back Zone Guna Keselamatan Saat Proses Berthing dan Unberthing menyebutkan tingginya tingkat kematian akibat Zona Snap Back disebabkan oleh pengetahuan crew yang kurang dan tidak terampil, perawatan marking dengan metode pengecatan yang salah, kurangnya koordinasi antara pihak kapal dan perusahaan dan pelaksanaan PMS (plain maintenance system) yang kurang baik.
"Untuk menghindari kecelakaan di Zona Snap Back perlu adanya safety meeting secara rutin bagi crew, pemaksimalan dalam perawatan snap back zone dengan metode pengecatan yang benar, meningkatkan koordinasi antara pihak kapal dengan perusahaan serta melaksanakan PMS (plain maintenance system) dengan baik dan benar," tulisnya.
(wsb)