Mengungkap Misteri Matahari dengan Teleskop DKIST, 2 Hal Ini Bikin Penasaran Ilmuwan
loading...
A
A
A
HONOLULU - Teleskop surya terbesar di dunia, Daniel K. Inouye Solar Telescope (DKIST), di Pulau Maui, Hawaii, AS, mulai melakukan pengamatan Matahari pada awal tahun 2020. Para ilmuwan ingin mengungkap misteri matahari, di antaranya dari mana sumber panas dan angin di pusat tata surya berasal.
Dengan teleskop surya terbesar di dunia, para ilmuwan sangat ingin mengamati aktivitas matahari yang meningkat dan lebih memahami ancaman cuaca antariksa. Teleskop DKIST, bergabung dengan sejumlah pengamat matahari lainnya, terutama NASA's Parker Solar Probe dan European Space Agency's (ESA) Solar Orbiter.
“Kami memiliki satu setengah tahun yang sangat menarik,” kata Carrie Black, Direktur Program National Solar Observatory, yang mencakup DKIST, dalam konferensi pers tahunan American Geophysical Union, di Chicago, AS, Selasa 13 Desember 2022.
Teleskop DKIST dimiliki oleh US National Science Foundation (NSF) dirancang untuk fokus pada bagian atas atmosfer matahari atau korona. Termasuk, mengkhususkan diri dalam mengamati medan magnet matahari.
Gambar pertama teleskop DKIST menampilkan pemandangan memukau butiran permukaan matahari seperti popcorn yang dirilis pada Januari 2020. DKIST merilis kumpulan data pertamanya pada 12 Desember, serta video baru berdasarkan pengamatan.
Video menunjukkan butiran di kromosfer matahari, tepat di atas permukaannya yang terlihat. "Anda dapat melihat gerakan dinamis yang fantastis ini terjadi," kata Black.
Para ilmuwan menganggap butiran itu memainkan peran kunci untuk mengungkap salah satu misteri terbesar tentang matahari, yaitu mengapa korona begitu panas. Misteri suhu yang sangat panas itu adalah teka-teki kunci yang belum terungkap.
Permukaan matahari yang terlihat, dikenal sebagai fotosfer, dapat mencapai suhu terik setinggi 4.125 hingga 6.125 derajat Celcius. Namun di korona, suhu bisa melonjak hingga 2 juta derajat Celcius.
Selain butiran di permukaan matahari, misteri kedua adalah angin matahari, berupa aliran partikel bermuatan yang terus mengalir dari matahari dan ke luar angkasa. Kadang-kadang kecepatan angin Matahari mencapai 1,6 juta km/jam, dan para ilmuwan belum mendapat jawaban bagaimana partikel itu bisa begitu cepat.
“Jadi plasma itu terus membombardir Bumi. Dan saya bahkan belum sampai ke badai matahari yang besar. Itu hanya matahari biasa dan pada hari biasa,” kata Nicholeen Viall, astrofisikawan di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA di Maryland.
Memahami bagaimana matahari bekerja bukan hanya untuk kepentingan akademis. Meskipun berjarak 150 juta kilometer, aktivitas matahari memiliki konsekuensi bagi kehidupan di Bumi, yang oleh para ilmuwan disebut cuaca luar angkasa.
Cuaca luar angkasa dapat mencakup semburan besar radiasi elektromagnetik yang disebut solar flares, serta coronal mass ejections (CMEs) yang menembakkan gumpalan besar plasma ke luar angkasa. Cuaca luar angkasa dapat membahayakan astronot di Stasiun Luar Angkasa Internasional, merusak satelit di orbit, dan mengganggu komunikasi radio.
Peristiwa cuaca antariksa menjadi lebih sering dan lebih parah menjelang puncak siklus matahari 11 tahun. Saat ini, aktivitas matahari secara umum semakin meningkat, dengan prediksi maksimum matahari terjadi pada tahun 2025.
“Mempelajari cuaca antariksa penting bagi ekonomi global karena badai matahari dapat memengaruhi teknologi canggih yang sangat kita andalkan dalam kehidupan kita sehari-hari," ujar Elsayed Talaat, Direktur Kantor Proyek, Perencanaan, dan Analisis di layanan data satelit di Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA).
Dengan teleskop surya terbesar di dunia, para ilmuwan sangat ingin mengamati aktivitas matahari yang meningkat dan lebih memahami ancaman cuaca antariksa. Teleskop DKIST, bergabung dengan sejumlah pengamat matahari lainnya, terutama NASA's Parker Solar Probe dan European Space Agency's (ESA) Solar Orbiter.
“Kami memiliki satu setengah tahun yang sangat menarik,” kata Carrie Black, Direktur Program National Solar Observatory, yang mencakup DKIST, dalam konferensi pers tahunan American Geophysical Union, di Chicago, AS, Selasa 13 Desember 2022.
Baca Juga
Teleskop DKIST dimiliki oleh US National Science Foundation (NSF) dirancang untuk fokus pada bagian atas atmosfer matahari atau korona. Termasuk, mengkhususkan diri dalam mengamati medan magnet matahari.
Gambar pertama teleskop DKIST menampilkan pemandangan memukau butiran permukaan matahari seperti popcorn yang dirilis pada Januari 2020. DKIST merilis kumpulan data pertamanya pada 12 Desember, serta video baru berdasarkan pengamatan.
Video menunjukkan butiran di kromosfer matahari, tepat di atas permukaannya yang terlihat. "Anda dapat melihat gerakan dinamis yang fantastis ini terjadi," kata Black.
Para ilmuwan menganggap butiran itu memainkan peran kunci untuk mengungkap salah satu misteri terbesar tentang matahari, yaitu mengapa korona begitu panas. Misteri suhu yang sangat panas itu adalah teka-teki kunci yang belum terungkap.
Permukaan matahari yang terlihat, dikenal sebagai fotosfer, dapat mencapai suhu terik setinggi 4.125 hingga 6.125 derajat Celcius. Namun di korona, suhu bisa melonjak hingga 2 juta derajat Celcius.
Selain butiran di permukaan matahari, misteri kedua adalah angin matahari, berupa aliran partikel bermuatan yang terus mengalir dari matahari dan ke luar angkasa. Kadang-kadang kecepatan angin Matahari mencapai 1,6 juta km/jam, dan para ilmuwan belum mendapat jawaban bagaimana partikel itu bisa begitu cepat.
“Jadi plasma itu terus membombardir Bumi. Dan saya bahkan belum sampai ke badai matahari yang besar. Itu hanya matahari biasa dan pada hari biasa,” kata Nicholeen Viall, astrofisikawan di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA di Maryland.
Memahami bagaimana matahari bekerja bukan hanya untuk kepentingan akademis. Meskipun berjarak 150 juta kilometer, aktivitas matahari memiliki konsekuensi bagi kehidupan di Bumi, yang oleh para ilmuwan disebut cuaca luar angkasa.
Cuaca luar angkasa dapat mencakup semburan besar radiasi elektromagnetik yang disebut solar flares, serta coronal mass ejections (CMEs) yang menembakkan gumpalan besar plasma ke luar angkasa. Cuaca luar angkasa dapat membahayakan astronot di Stasiun Luar Angkasa Internasional, merusak satelit di orbit, dan mengganggu komunikasi radio.
Peristiwa cuaca antariksa menjadi lebih sering dan lebih parah menjelang puncak siklus matahari 11 tahun. Saat ini, aktivitas matahari secara umum semakin meningkat, dengan prediksi maksimum matahari terjadi pada tahun 2025.
“Mempelajari cuaca antariksa penting bagi ekonomi global karena badai matahari dapat memengaruhi teknologi canggih yang sangat kita andalkan dalam kehidupan kita sehari-hari," ujar Elsayed Talaat, Direktur Kantor Proyek, Perencanaan, dan Analisis di layanan data satelit di Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA).
(wib)