Warga Dunia Buang Makanan 931 Juta Ton di Tengah 690 Juta Orang Kelaparan
Sabtu, 20 Maret 2021 - 12:35 WIB
JAKARTA - Berdasarkan data Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2019 jumlah sampah makanan yang dihasilkan warga dunia mencapai 931 juta ton. Sedangkan di sisi lain, sekitar 690 juta orang terkena dampak kelaparan setiap tahun.
“Membuang makanan secara de facto berarti membuang sumber daya yang digunakan untuk produksinya,” kata Martina Otto, yang memimpin pekerjaan Program Lingkungan PBB di kota-kota. (Baca: Besok Asteroid Besar Melintasi Bumi, Jika Jalurnya Berubah Bisa Kiamat Dunia)
Dilansir Sciencenews , jika limbah makanan berakhir di tempat pembuangan sampah, lanjutnya, itu sama saja membuat perubahan iklim makin tinggi. Berdasarkan perhitungan tahun 2019, jumlah makanan yang dibuang mencapai 931 juta ton. Jumlah itu sama saja sekitar 17 persen dari makanan yang diproduksi dibuang percuma.
Pada saat yang bersamaan, sekitar 690 juta orang terkena dampak kelaparan setiap tahun, dan lebih dari 3 miliar orang tidak mampu melakukan diet yang sehat. Sementara itu, makanan yang hilang dan terbuang menyumbang 8 hingga 10 persen dari emisi gas rumah kaca global. (Baca juga: Ilmuwan Ini Menjelaskan Apa yang terjadi Ketika Manusia Mati)
Otto mengatakan, mengurangi limbah makanan dapat meredakan kedua masalah tersebut. Menurut Laporan Indeks Limbah Makanan 2021 yang diterbitkan beberapa waktu lalu oleh Program Lingkungan PBB dan WRAP, sebuah badan amal lingkungan yang berbasis di Inggris.
Peneliti menganalisis data limbah makanan dari 54 negara. Sebagian besar sampah - 61 persen - berasal dari rumah. Layanan makanan seperti restoran menyumbang 26 persen dari limbah makanan global sementara gerai ritel seperti supermarket hanya menyumbang 13 persen.
Anehnya, limbah makanan menjadi masalah substansial bagi hampir semua negara terlepas dari tingkat pendapatan mereka, tim menemukan. “Kami pikir sampah merupakan masalah utama di negara-negara kaya,” kata Otto. (Baca juga: Pindahkan Badak dengan Cara Digantung di Helikopter, Ini Penjelasan Peneliti)
Otto merekomendasikan agar negara-negara mulai menangani limbah makanan dengan mengintegrasikan pengurangan ke dalam strategi iklim dan rencana pemulihan COVID-19 mereka. “Limbah makanan sebagian besar telah diabaikan dalam strategi iklim nasional. Kami tahu apa yang harus dilakukan, dan kami dapat mengambil tindakan dengan cepat - secara kolektif dan individual,” katanya.
“Membuang makanan secara de facto berarti membuang sumber daya yang digunakan untuk produksinya,” kata Martina Otto, yang memimpin pekerjaan Program Lingkungan PBB di kota-kota. (Baca: Besok Asteroid Besar Melintasi Bumi, Jika Jalurnya Berubah Bisa Kiamat Dunia)
Dilansir Sciencenews , jika limbah makanan berakhir di tempat pembuangan sampah, lanjutnya, itu sama saja membuat perubahan iklim makin tinggi. Berdasarkan perhitungan tahun 2019, jumlah makanan yang dibuang mencapai 931 juta ton. Jumlah itu sama saja sekitar 17 persen dari makanan yang diproduksi dibuang percuma.
Pada saat yang bersamaan, sekitar 690 juta orang terkena dampak kelaparan setiap tahun, dan lebih dari 3 miliar orang tidak mampu melakukan diet yang sehat. Sementara itu, makanan yang hilang dan terbuang menyumbang 8 hingga 10 persen dari emisi gas rumah kaca global. (Baca juga: Ilmuwan Ini Menjelaskan Apa yang terjadi Ketika Manusia Mati)
Otto mengatakan, mengurangi limbah makanan dapat meredakan kedua masalah tersebut. Menurut Laporan Indeks Limbah Makanan 2021 yang diterbitkan beberapa waktu lalu oleh Program Lingkungan PBB dan WRAP, sebuah badan amal lingkungan yang berbasis di Inggris.
Peneliti menganalisis data limbah makanan dari 54 negara. Sebagian besar sampah - 61 persen - berasal dari rumah. Layanan makanan seperti restoran menyumbang 26 persen dari limbah makanan global sementara gerai ritel seperti supermarket hanya menyumbang 13 persen.
Anehnya, limbah makanan menjadi masalah substansial bagi hampir semua negara terlepas dari tingkat pendapatan mereka, tim menemukan. “Kami pikir sampah merupakan masalah utama di negara-negara kaya,” kata Otto. (Baca juga: Pindahkan Badak dengan Cara Digantung di Helikopter, Ini Penjelasan Peneliti)
Otto merekomendasikan agar negara-negara mulai menangani limbah makanan dengan mengintegrasikan pengurangan ke dalam strategi iklim dan rencana pemulihan COVID-19 mereka. “Limbah makanan sebagian besar telah diabaikan dalam strategi iklim nasional. Kami tahu apa yang harus dilakukan, dan kami dapat mengambil tindakan dengan cepat - secara kolektif dan individual,” katanya.
(ysw)
tulis komentar anda