Dampak Pemanasan Global Kian Mengerikan, India hingga Amerika Diterjang Banjir Bandang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Banjir bandang , tanah longsor, hujan deras , dan cuaca ekstrem terjadi di sejumlah negara. Ilmuwan menduga ini dampak dari kenaikan suhu bumi yang diakibatkan oleh pemanasan global.
Sekolah-sekolah di New Delhi terpaksa ditutup pada Senin (10/7) kemarin setelah hujan lebat melanda ibu kota India. Bahkan, tanah longsor dan banjir bandang menewaskan sedikitnya 15 orang selama tiga hari terakhir.
Lebih jauh ke utara, Sungai Beas di India yang meluap menyapu kendaraan ke hilir saat membanjiri lingkungan.
Di Jepang, hujan deras mengguyur wilayah barat daya, menyebabkan banjir dan tanah longsor yang menyebabkan dua orang tewas dan sedikitnya enam orang lainnya hilang. TV lokal menunjukkan rumah-rumah yang rusak di prefektur Fukuoka dan air berlumpur dari
Sungai Yamakuni yang membengkak tampak mengancam sebuah jembatan di kota Yabakei.
Di Ulster County, di Lembah Hudson di New York, dan di Vermont, juga dilanda banjir besar. Bahkan, warga setempat mengatakan banjir ini adalah yang terburuk yang pernah mereka lihat sejak kehancuran Badai Irene pada 2011.
Di Batu Karas, Kabupaten Pangandaran, hujan deras selama beberapa hari membuat air sungai Cijulang meluap. Selain wisata Green Canyon ditutup beberapa hari, luapan air sungai mencapai jalan raya dan membuat akses kendaraan terhambat.
Ilmuwan yang meneliti atmosfer mengatakan bahwa kejadian bencana tersebut memiliki kesamaan: badai terbentuk di atmosfer yang lebih hangat, membuat curah hujan yang ekstrem muncul lebih sering. Ilmuwan juga menyebut hal tersebut akan terus bertambah buruk.
Ini karena atmosfer yang lebih hangat menahan lebih banyak kelembapan, yang mengakibatkan badai membuang lebih banyak curah hujan yang dapat berakibat fatal.
Polutan, terutama karbon dioksida dan metana, memanaskan atmosfer. Alih-alih membiarkan panas memancar dari Bumi ke luar angkasa, mereka menahannya.
Meski perubahan iklim bukan penyebab badai yang melepaskan curah hujan, badai ini terbentuk di atmosfer yang menjadi lebih hangat dan lebih basah.
“Enam puluh delapan derajat Fahrenheit dapat menampung air dua kali lebih banyak daripada 50 derajat Fahrenheit," kata Rodney Wynn, seorang ahli meteorologi di National Weather Service di Tampa Bay.
“Udara hangat mengembang dan udara dingin berkontraksi. Anda dapat menganggapnya sebagai balon. Ketika dipanaskan, volumenya akan menjadi lebih besar, sehingga dapat menahan lebih banyak kelembapan,” ungkapnya.
Di setiap 1 derajat Celcius, yang sama dengan 1,8 derajat Fahrenheit, atmosfer menghangat, dan menyimpan kelembapan sekitar 7% lebih banyak. Menurut NASA, suhu global rata-rata telah meningkat setidaknya 1,1 derajat Celcius (1,9 derajat Fahrenheit) sejak 1880.
“Saat badai petir terjadi, uap air terkondensasi menjadi tetesan hujan dan jatuh kembali ke permukaan. Jadi saat badai ini terbentuk di lingkungan yang lebih hangat yang memiliki lebih banyak kelembapan, curah hujan meningkat,” jelas Brian Soden, profesor ilmu atmosfer di University of Miami.
Di sepanjang pantai Laut Hitam yang bergunung-gunung di Turki, hujan deras membanjiri sungai dan merusak kota-kota dengan banjir dan tanah longsor. Sedikitnya 15 orang tewas akibat banjir di daerah pegunungan lain, di barat daya China.
“Saat iklim semakin hangat, kami melihat kejadian hujan lebat menjadi lebih umum, ini adalah prediksi model iklim yang sangat kuat,” tambah Soden. “Tidak mengherankan melihat peristiwa ini terjadi,”.
Gavin Schmidt, klimatologis dan direktur NASA Goddard Institute for Space Studies, mengatakan bahwa wilayah yang paling terpukul oleh perubahan iklim bukanlah wilayah yang mengeluarkan polutan penghangat planet dalam jumlah terbesar.
“Sebagian besar emisi berasal dari negara-negara industri Barat dan sebagian besar dampaknya terjadi di tempat-tempat yang tidak memiliki infrastruktur yang baik, yang kurang siap menghadapi cuaca ekstrem, dan tidak memiliki cara nyata untuk mengelolanya,”kataSchmidt.
Sekolah-sekolah di New Delhi terpaksa ditutup pada Senin (10/7) kemarin setelah hujan lebat melanda ibu kota India. Bahkan, tanah longsor dan banjir bandang menewaskan sedikitnya 15 orang selama tiga hari terakhir.
Lebih jauh ke utara, Sungai Beas di India yang meluap menyapu kendaraan ke hilir saat membanjiri lingkungan.
Di Jepang, hujan deras mengguyur wilayah barat daya, menyebabkan banjir dan tanah longsor yang menyebabkan dua orang tewas dan sedikitnya enam orang lainnya hilang. TV lokal menunjukkan rumah-rumah yang rusak di prefektur Fukuoka dan air berlumpur dari
Sungai Yamakuni yang membengkak tampak mengancam sebuah jembatan di kota Yabakei.
Di Ulster County, di Lembah Hudson di New York, dan di Vermont, juga dilanda banjir besar. Bahkan, warga setempat mengatakan banjir ini adalah yang terburuk yang pernah mereka lihat sejak kehancuran Badai Irene pada 2011.
Di Batu Karas, Kabupaten Pangandaran, hujan deras selama beberapa hari membuat air sungai Cijulang meluap. Selain wisata Green Canyon ditutup beberapa hari, luapan air sungai mencapai jalan raya dan membuat akses kendaraan terhambat.
Saling Terkait
Meski banjir yang merusak di India, Jepang, Cina, Turki, Indonesia, dan Amerika Serikat mungkin tampak seperti tidak terkait karena jarak yang sangat jauh, tapi ilmuwan menemukan garis merahnya.Ilmuwan yang meneliti atmosfer mengatakan bahwa kejadian bencana tersebut memiliki kesamaan: badai terbentuk di atmosfer yang lebih hangat, membuat curah hujan yang ekstrem muncul lebih sering. Ilmuwan juga menyebut hal tersebut akan terus bertambah buruk.
Ini karena atmosfer yang lebih hangat menahan lebih banyak kelembapan, yang mengakibatkan badai membuang lebih banyak curah hujan yang dapat berakibat fatal.
Polutan, terutama karbon dioksida dan metana, memanaskan atmosfer. Alih-alih membiarkan panas memancar dari Bumi ke luar angkasa, mereka menahannya.
Meski perubahan iklim bukan penyebab badai yang melepaskan curah hujan, badai ini terbentuk di atmosfer yang menjadi lebih hangat dan lebih basah.
“Enam puluh delapan derajat Fahrenheit dapat menampung air dua kali lebih banyak daripada 50 derajat Fahrenheit," kata Rodney Wynn, seorang ahli meteorologi di National Weather Service di Tampa Bay.
“Udara hangat mengembang dan udara dingin berkontraksi. Anda dapat menganggapnya sebagai balon. Ketika dipanaskan, volumenya akan menjadi lebih besar, sehingga dapat menahan lebih banyak kelembapan,” ungkapnya.
Di setiap 1 derajat Celcius, yang sama dengan 1,8 derajat Fahrenheit, atmosfer menghangat, dan menyimpan kelembapan sekitar 7% lebih banyak. Menurut NASA, suhu global rata-rata telah meningkat setidaknya 1,1 derajat Celcius (1,9 derajat Fahrenheit) sejak 1880.
“Saat badai petir terjadi, uap air terkondensasi menjadi tetesan hujan dan jatuh kembali ke permukaan. Jadi saat badai ini terbentuk di lingkungan yang lebih hangat yang memiliki lebih banyak kelembapan, curah hujan meningkat,” jelas Brian Soden, profesor ilmu atmosfer di University of Miami.
Di sepanjang pantai Laut Hitam yang bergunung-gunung di Turki, hujan deras membanjiri sungai dan merusak kota-kota dengan banjir dan tanah longsor. Sedikitnya 15 orang tewas akibat banjir di daerah pegunungan lain, di barat daya China.
“Saat iklim semakin hangat, kami melihat kejadian hujan lebat menjadi lebih umum, ini adalah prediksi model iklim yang sangat kuat,” tambah Soden. “Tidak mengherankan melihat peristiwa ini terjadi,”.
Gavin Schmidt, klimatologis dan direktur NASA Goddard Institute for Space Studies, mengatakan bahwa wilayah yang paling terpukul oleh perubahan iklim bukanlah wilayah yang mengeluarkan polutan penghangat planet dalam jumlah terbesar.
“Sebagian besar emisi berasal dari negara-negara industri Barat dan sebagian besar dampaknya terjadi di tempat-tempat yang tidak memiliki infrastruktur yang baik, yang kurang siap menghadapi cuaca ekstrem, dan tidak memiliki cara nyata untuk mengelolanya,”kataSchmidt.
(dan)