Penelitian FOSES Soal Dampak COVID-19 dan Kenaikan Cukai terhadap IHT
loading...
A
A
A
“Temuan kami di lapangan, perusahaan skala kecil dan menengah di daerah sentra tembakau melakukan proses rekrutmen tenaga kerja yang berangkat dari asas gotong royong dan kepedulian sesama masyarakat yang masih menganggur sehingga ditawarkan untuk bekerja di pabrik. Namun, praktik ini belakangan sulit berjalan karena perusahaan semakin tertekan regulasi yang memaksa mereka untuk melakukan efisiensi setinggi mungkin,” tegas Putra.
Keadaan pandemi saat ini tidak luput dari perhatian FOSES, Putra menyebut IHT bisa semakin terpuruk karena perekonomian diprediksi akan stagnan bahkan negatif. “Bahkan sebelum terjadinya pandemi, tenaga kerja di IHT tidak mudah untuk dapat terserap oleh industri lainnya. Jika tenaga kerja dirumahkan akibat pandemi saat ini, akan semakin sulit untuk mereka mencari pekerjaan pengganti. Peningkatan jumlah angka pengangguran, pada akhirnya tentu akan semakin menambah beban negara,” jelasnya.
Wawan Juswanto Analis Kebijakan Ahli Madya, Ketua Kelompok Analis Pajak Internasional, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menyatakan pembahasan kebijakan CHT pihaknya telah melalui prosedur panjang dan melibatkan stakeholders. “Dari sana kami bisa memproyeksikan dampaknya apa saja dan bagaimana mitigasi risikonya, misalnya dengan alokasi DBH CHT dan Pajak Rokok ke Daerah, sampai yang terbaru, dukungan terhadap IHT selama pandemi COVID-19 melalui fasilitas penundaan pelunasan cukai untuk pembelian pita cukai sejak tanggal 8 April 2020 s.d. 9 Juli 2020 dengan jangka waktu penundaan 90 hari,” tutur Wawan.
Kasubdit Hubungan Kerja, Direktorat Persyaratan Kerja Kementerian Tenaga Kerja Sumondang menyatakan, perlu kehati-hatian dalam menetapkan besaran tarif cukai mengingat dampaknya yang bersifat multiplier effect, salah satunya terhadap bidang ketenagakerjaan. “Kami juga rekomendasikan agar ada roadmap yang melibatkan lintas kementerian/lembaga, untuk mengatur titik keseimbangan industri rokok. Di sisi lain, Kemnaker terus mengupayakan pembinaan dan pengawasan norma-norma perlindungan kerja dan kesejahteraan bagi petani dan pekerja/buruh industri tembakau, khususnya yang terkait dengan hubungan kerja, pengupahan dan jaminan sosial tenaga kerja,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya Sulami Bahar menyatakan, kondisi ketenagakerjaan di perusahaan tembakau saat ini sangatlah sulit. Di satu sisi, perusahaan diminta untuk terus membayar cukai yang tinggi, diiringi dengan pembatasan-pembatasan lainnya. Namun di sisi lain, industri ini diminta agar jangan sampai ada PHK dan tetap beroperasional.
“Isu tenaga kerja di Indonesia merupakan isu yang sangat kompleks, jumlah pekerja dengan pendidikan rendah di Indonesia masih sangat banyak, dan tidak bisa diabaikan keberadaannya. Oleh karenanya, industri strategis seperti IHT sangat berperan dalam hal ini. Jangan sampai mengabaikan kebutuhan mendasar masyarakat dan akibatnya banyak angka pengangguran dan kemiskinan yang tidak terlihat oleh data, “ungkapnya.
Sulami juga menambahkan bahwa dirinya mengapresiasi niat dari peneliti di lembaga ini untuk mengkaji berbagai sudut pandang, serta melakukan validasi langsung dengan tokoh-tokoh kunci di sentra tembakau, sehingga semua pemangku kepentingan ketahui kondisi riilnya. “Saya berharap pemerintah bisa lebih berpihak pada kepentingan masyarakat dalam menciptakan aturan pengendalian produk tembakau,” jelas Sulami.
Keterkaitan IHT dari sisi budaya terutama di daerah sentra penghasil tembakau merupakan dimensi lain yang menjadi penelitian FOSES. Diketahui bahwa umumnya masyarakat yang memilih berprofesi sebagai petani tembakau atau bekerja di pabrik tembakau disebabkan karena ini adalah profesi yang dilakukan atau diwariskan turun menurun dalam keluarga, seperti meracik saus dan melinting kretek. Hal ini telah melekat erat dalam nilai kebudayaan mereka. “Disrupsi terhadap IHT melalui kebijakan-kebijakan eksesif dinilai akan mencederai tatanan sosial budaya di daerah tersebut, serta membuat masyarakat kehilangan lapangan pekerjaan,” tutup Putra.
Keadaan pandemi saat ini tidak luput dari perhatian FOSES, Putra menyebut IHT bisa semakin terpuruk karena perekonomian diprediksi akan stagnan bahkan negatif. “Bahkan sebelum terjadinya pandemi, tenaga kerja di IHT tidak mudah untuk dapat terserap oleh industri lainnya. Jika tenaga kerja dirumahkan akibat pandemi saat ini, akan semakin sulit untuk mereka mencari pekerjaan pengganti. Peningkatan jumlah angka pengangguran, pada akhirnya tentu akan semakin menambah beban negara,” jelasnya.
Wawan Juswanto Analis Kebijakan Ahli Madya, Ketua Kelompok Analis Pajak Internasional, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menyatakan pembahasan kebijakan CHT pihaknya telah melalui prosedur panjang dan melibatkan stakeholders. “Dari sana kami bisa memproyeksikan dampaknya apa saja dan bagaimana mitigasi risikonya, misalnya dengan alokasi DBH CHT dan Pajak Rokok ke Daerah, sampai yang terbaru, dukungan terhadap IHT selama pandemi COVID-19 melalui fasilitas penundaan pelunasan cukai untuk pembelian pita cukai sejak tanggal 8 April 2020 s.d. 9 Juli 2020 dengan jangka waktu penundaan 90 hari,” tutur Wawan.
Kasubdit Hubungan Kerja, Direktorat Persyaratan Kerja Kementerian Tenaga Kerja Sumondang menyatakan, perlu kehati-hatian dalam menetapkan besaran tarif cukai mengingat dampaknya yang bersifat multiplier effect, salah satunya terhadap bidang ketenagakerjaan. “Kami juga rekomendasikan agar ada roadmap yang melibatkan lintas kementerian/lembaga, untuk mengatur titik keseimbangan industri rokok. Di sisi lain, Kemnaker terus mengupayakan pembinaan dan pengawasan norma-norma perlindungan kerja dan kesejahteraan bagi petani dan pekerja/buruh industri tembakau, khususnya yang terkait dengan hubungan kerja, pengupahan dan jaminan sosial tenaga kerja,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya Sulami Bahar menyatakan, kondisi ketenagakerjaan di perusahaan tembakau saat ini sangatlah sulit. Di satu sisi, perusahaan diminta untuk terus membayar cukai yang tinggi, diiringi dengan pembatasan-pembatasan lainnya. Namun di sisi lain, industri ini diminta agar jangan sampai ada PHK dan tetap beroperasional.
“Isu tenaga kerja di Indonesia merupakan isu yang sangat kompleks, jumlah pekerja dengan pendidikan rendah di Indonesia masih sangat banyak, dan tidak bisa diabaikan keberadaannya. Oleh karenanya, industri strategis seperti IHT sangat berperan dalam hal ini. Jangan sampai mengabaikan kebutuhan mendasar masyarakat dan akibatnya banyak angka pengangguran dan kemiskinan yang tidak terlihat oleh data, “ungkapnya.
Sulami juga menambahkan bahwa dirinya mengapresiasi niat dari peneliti di lembaga ini untuk mengkaji berbagai sudut pandang, serta melakukan validasi langsung dengan tokoh-tokoh kunci di sentra tembakau, sehingga semua pemangku kepentingan ketahui kondisi riilnya. “Saya berharap pemerintah bisa lebih berpihak pada kepentingan masyarakat dalam menciptakan aturan pengendalian produk tembakau,” jelas Sulami.
Keterkaitan IHT dari sisi budaya terutama di daerah sentra penghasil tembakau merupakan dimensi lain yang menjadi penelitian FOSES. Diketahui bahwa umumnya masyarakat yang memilih berprofesi sebagai petani tembakau atau bekerja di pabrik tembakau disebabkan karena ini adalah profesi yang dilakukan atau diwariskan turun menurun dalam keluarga, seperti meracik saus dan melinting kretek. Hal ini telah melekat erat dalam nilai kebudayaan mereka. “Disrupsi terhadap IHT melalui kebijakan-kebijakan eksesif dinilai akan mencederai tatanan sosial budaya di daerah tersebut, serta membuat masyarakat kehilangan lapangan pekerjaan,” tutup Putra.
(wbs)