Penelitian Alam Bisa Bantu Kesehatan Mental Diragukan karena Hanya Libatkan Orang Kaya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penelitian yang menyebutkan alam bisa membantu kesehatan mental diragukan kebenarannya karena hanya melibatkan orang kaya dan kulit putih. Penelitian itu sendiri diungkap dalam buku berjudul Your Brain on Nature dan The Nature Fix.
Di kedua buku itu disebutkan bahwa aktivitas di alam bebas akan sangat membantu kesehatan setiap orang. Termasuk kesehatan mental yang banyak mengalami tekanan akibat rutinitas tinggi.
Hanya saja temuan itu justru digugat oleh peneliti dari University of Vermont. Penelitian yang dilakukan selama 2010 hingga 2020 itu justru diragukan keutuhannya karena terlalu satu dimensi.
Pasalnya penelitian yang menyebutkan alam sangat membantu kesehatan mental hanya melibatkan masyarakat kulit putih yang berada di negara-negara berpendapatan tinggi seperti di Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur.
"Lebih dari 95 persen studi dilakukan di wilayah-wilayah itu. Kurang dari 4 persen hanya dilakukan di India. Sama sekali tidak dilakukan penelitian di negara-negara dengan pendapatan rendah," tulis University of Vermont dalam penelitian berjudul Current Research in Environmental Sustainability.
Carlos Andres Gallegos-Riofrio dari Univeristy of Vermont menyebutkan objek penelitian memiliki potensi yang besar untuk mengungkap pentingnya isu lingkungan yang baik untuk masalah kesehatan. Hanya saja prosesnya harus merefleksikan keberagaman yang ada di masyarakat dunia.
"Sayangnya mereka lebih fokus penelitian di wilayah WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich and Democratic," ujarnya.
Mereka sendiri menawarkan beberapa rekomendasi untuk memperbaiki penelitian tersebut. Mulai dari penelitian kolaboratif yang diikuti oleh beragam komunitas, peserta yang lebih besar, pelacakan demografi yang lebih baik, serta fokus yang ditingkatkan pada wilayah selatan bumi yang didominasi negara-negara berpendapatan rendah.
Mereka juga menyoroti pentingnya diversifikasi ilmu lingkungan, dengan dukungan yang lebih baik untuk mahasiswa dan fakultas dari berbagai latar belakang, dan kolaborasi yang lebih besar dengan komunitas yang beragam.
“Kita membutuhkan semua budaya bekerja sama untuk mengatasi keadaan darurat global yang kita hadapi,” kata Amaya Carrasco, salah satu peneliti.
Di kedua buku itu disebutkan bahwa aktivitas di alam bebas akan sangat membantu kesehatan setiap orang. Termasuk kesehatan mental yang banyak mengalami tekanan akibat rutinitas tinggi.
Hanya saja temuan itu justru digugat oleh peneliti dari University of Vermont. Penelitian yang dilakukan selama 2010 hingga 2020 itu justru diragukan keutuhannya karena terlalu satu dimensi.
Pasalnya penelitian yang menyebutkan alam sangat membantu kesehatan mental hanya melibatkan masyarakat kulit putih yang berada di negara-negara berpendapatan tinggi seperti di Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur.
"Lebih dari 95 persen studi dilakukan di wilayah-wilayah itu. Kurang dari 4 persen hanya dilakukan di India. Sama sekali tidak dilakukan penelitian di negara-negara dengan pendapatan rendah," tulis University of Vermont dalam penelitian berjudul Current Research in Environmental Sustainability.
Carlos Andres Gallegos-Riofrio dari Univeristy of Vermont menyebutkan objek penelitian memiliki potensi yang besar untuk mengungkap pentingnya isu lingkungan yang baik untuk masalah kesehatan. Hanya saja prosesnya harus merefleksikan keberagaman yang ada di masyarakat dunia.
"Sayangnya mereka lebih fokus penelitian di wilayah WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich and Democratic," ujarnya.
Mereka sendiri menawarkan beberapa rekomendasi untuk memperbaiki penelitian tersebut. Mulai dari penelitian kolaboratif yang diikuti oleh beragam komunitas, peserta yang lebih besar, pelacakan demografi yang lebih baik, serta fokus yang ditingkatkan pada wilayah selatan bumi yang didominasi negara-negara berpendapatan rendah.
Mereka juga menyoroti pentingnya diversifikasi ilmu lingkungan, dengan dukungan yang lebih baik untuk mahasiswa dan fakultas dari berbagai latar belakang, dan kolaborasi yang lebih besar dengan komunitas yang beragam.
“Kita membutuhkan semua budaya bekerja sama untuk mengatasi keadaan darurat global yang kita hadapi,” kata Amaya Carrasco, salah satu peneliti.
(wsb)