Misteri Manusia Super di Himalaya Akhirnya Terpecahkan, Keturunan Yeti?
Kamis, 24 Agustus 2023 - 17:22 WIB
“Saat menetap di sana dalam jangka waktu yang lama, masyarakat di wilayah ini memperoleh cara luar biasa untuk melawan kondisi iklim ekstrem dalam bentuk mutasi pada genom. Oleh karena itu, terdapat seleksi positif dari beberapa gen yang pada akhirnya menjadi pendorong adaptasi di lingkungan yang keras,” kata Gyaneshwar Chaubey, pakar antropologi biologi, genetika medis, dan forensik.
Profesor Chaubey merupakan anggota tim Universitas Kalkuta dan Universitas Hindu Banaras, yang menganalisis parameter antropometri dan biokimia dari 178 individu dari suku etnis yang tinggal pada kisaran ketinggian 1.467 meter dan 2.258 meter di atas permukaan laut.
Dari hasil risetnya, profesor Chaubey dan tim menemukan fakta populasi di dataran tinggi memiliki hemoglobin yang jauh lebih rendah dan tekanan darah yang lebih tinggi untuk mengatasi iklim ekstrem.
Hemoglobin yang relatif rendah memfasilitasi sirkulasi darah yang efisien pada populasi di dataran tinggi. Hal ini memungkinkan mereka memanfaatkan lebih sedikit oksigen dengan lebih efisien. “Di dataran tinggi, tekanan atmosfer yang rendah memaksa jantung memompa lebih keras untuk mengedarkan oksigen secara efektif,” kata Profesor Chaubey.
Hemoglobin membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Di dataran tinggi, dengan tekanan darah tinggi, hemoglobin yang rendah menyeimbangkan konsentrasi oksigen pada saat dan titik tertentu.
Bagi kebanyakan orang, hal ini dapat menyebabkan hipoksia. Namun, bagi warga Sherpa dan Tibet, tekanan darah tinggi dan hemoglobin rendah mengatasi masalah tersebut.
“Mutasi genetik menjaga tingkat hemoglobin tetap rendah, yang bertindak sebagai pengencer darah alami, dan tekanan tinggi memastikan bahwa ia mencapai setiap sel secara efektif,” Chaubey menjelaskan.
Bandingkan dengan lebih dari 300 pendaki yang, sejak 1953, meninggal dalam perjalanan menuju Gunung Everest, sepertiga di antaranya meninggal karena kekurangan oksigen.
Penelitian yang dipublikasikan di American Journal of Human Biology ini mencakup suku Sherpa, Lepcha, Gorkha, Tibet, dan Bhutia, yang semuanya telah menjadikan Himalaya sebagai rumah sejak dahulu kala.
Profesor Chaubey merupakan anggota tim Universitas Kalkuta dan Universitas Hindu Banaras, yang menganalisis parameter antropometri dan biokimia dari 178 individu dari suku etnis yang tinggal pada kisaran ketinggian 1.467 meter dan 2.258 meter di atas permukaan laut.
Dari hasil risetnya, profesor Chaubey dan tim menemukan fakta populasi di dataran tinggi memiliki hemoglobin yang jauh lebih rendah dan tekanan darah yang lebih tinggi untuk mengatasi iklim ekstrem.
Hemoglobin yang relatif rendah memfasilitasi sirkulasi darah yang efisien pada populasi di dataran tinggi. Hal ini memungkinkan mereka memanfaatkan lebih sedikit oksigen dengan lebih efisien. “Di dataran tinggi, tekanan atmosfer yang rendah memaksa jantung memompa lebih keras untuk mengedarkan oksigen secara efektif,” kata Profesor Chaubey.
Hemoglobin membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Di dataran tinggi, dengan tekanan darah tinggi, hemoglobin yang rendah menyeimbangkan konsentrasi oksigen pada saat dan titik tertentu.
Bagi kebanyakan orang, hal ini dapat menyebabkan hipoksia. Namun, bagi warga Sherpa dan Tibet, tekanan darah tinggi dan hemoglobin rendah mengatasi masalah tersebut.
“Mutasi genetik menjaga tingkat hemoglobin tetap rendah, yang bertindak sebagai pengencer darah alami, dan tekanan tinggi memastikan bahwa ia mencapai setiap sel secara efektif,” Chaubey menjelaskan.
Bandingkan dengan lebih dari 300 pendaki yang, sejak 1953, meninggal dalam perjalanan menuju Gunung Everest, sepertiga di antaranya meninggal karena kekurangan oksigen.
Penelitian yang dipublikasikan di American Journal of Human Biology ini mencakup suku Sherpa, Lepcha, Gorkha, Tibet, dan Bhutia, yang semuanya telah menjadikan Himalaya sebagai rumah sejak dahulu kala.
tulis komentar anda