Misteri Manusia Super di Himalaya Akhirnya Terpecahkan, Keturunan Yeti?

Kamis, 24 Agustus 2023 - 17:22 WIB
loading...
Misteri Manusia Super di Himalaya Akhirnya Terpecahkan, Keturunan Yeti?
Sherpa membawakan barang-barang pendaki menuju puncak Everest. (Foto: Tashi Sherpa/AP)
A A A
JAKARTA - Rahasia kekuatan suku Sherpa di pegunungan Himalaya akhirnya terpecahkan. Kemampuan mereka bertahan dalam kondisi ekstrem di ketinggian bisa dijelaskan secara ilmiah, diduga karena mewarisi genetik dari manusia purba yang disebut Yeti.

Sudah menjadi rahasia umum, orang-orang Sherpa memiliki kekuatan unik mampu bertahan di tengah kondisi ekstrem di pegunungan Himalaya, termasuk puncak Everest .

Dalam testimoninya, pendaki gunung Himalaya Sameer Nicholas Patham harus berjuang keras untuk bertahan meski sudah menggunakan oksigen tambahan. Maklum saja, di pegunungan Himalaya suhu turun hingga -30° Celcius dan oksigen sekitar 70 persen lebih rendah daripada yang kita hirup di permukaan laut. “Setiap langkah terasa menyiksa,” ujarnya dikutip dari Russian Today, Kamis (24/8/2023).

Uniknya, orang- orang Sherpa dari Tibet yang menemaninya mendaki dengan tenang melewati kondisi kritis ini, dengan membawa berat rata-rata 16 Kg. “Mereka adalah manusia super,” kata Sameer.

Suku Sherpa terkenal di dunia karena hidup di dataran tinggi. Menurut sensus tahun 2011, terdapat sekitar 16.012 Sherpa di India. Meskipun terdapat kelompok etnis dataran tinggi Himalaya lainnya, Sherpa mendominasi profesi pengangkut barang.



Kelompok etnis dataran tinggi lainnya termasuk orang Tibet, yang mendiami Daerah Otonomi Tibet, Gansu, Qinghai, Sichuan dan Yunnan di Tiongkok. Mereka juga ditemukan di India, Bhutan dan Nepal. Terdapat 182.685 orang Tibet di India, tersebar di Bengal, Himachal Pradesh, Arunachal Pradesh, Ladakh, Karnataka dan Uttarakhand. Lalu ada suku Lepcha, suku asli Darjeeling dan Sikkim, di Himalaya, yang menyebut dirinya Rong Migyit. Jumlahnya sekitar 47.331 orang. Selain itu, suku Bhutia tersebar di wilayah Himalaya dan berjumlah 229.954 jiwa.

Orang-orang ini, dengan penampilan fisik yang kuat dan kehidupan yang berat, telah mengajarkan dunia tentang kelangsungan hidup ekstrem di iklim yang tidak bersahabat dengan tingkat oksigen rendah dan medan yang keras.
Meskipun iklimnya menantang, terdapat bukti adanya permukiman manusia purba di Himalaya.

“Saat menetap di sana dalam jangka waktu yang lama, masyarakat di wilayah ini memperoleh cara luar biasa untuk melawan kondisi iklim ekstrem dalam bentuk mutasi pada genom. Oleh karena itu, terdapat seleksi positif dari beberapa gen yang pada akhirnya menjadi pendorong adaptasi di lingkungan yang keras,” kata Gyaneshwar Chaubey, pakar antropologi biologi, genetika medis, dan forensik.

Profesor Chaubey merupakan anggota tim Universitas Kalkuta dan Universitas Hindu Banaras, yang menganalisis parameter antropometri dan biokimia dari 178 individu dari suku etnis yang tinggal pada kisaran ketinggian 1.467 meter dan 2.258 meter di atas permukaan laut.

Dari hasil risetnya, profesor Chaubey dan tim menemukan fakta populasi di dataran tinggi memiliki hemoglobin yang jauh lebih rendah dan tekanan darah yang lebih tinggi untuk mengatasi iklim ekstrem.

Hemoglobin yang relatif rendah memfasilitasi sirkulasi darah yang efisien pada populasi di dataran tinggi. Hal ini memungkinkan mereka memanfaatkan lebih sedikit oksigen dengan lebih efisien. “Di dataran tinggi, tekanan atmosfer yang rendah memaksa jantung memompa lebih keras untuk mengedarkan oksigen secara efektif,” kata Profesor Chaubey.



Hemoglobin membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Di dataran tinggi, dengan tekanan darah tinggi, hemoglobin yang rendah menyeimbangkan konsentrasi oksigen pada saat dan titik tertentu.

Bagi kebanyakan orang, hal ini dapat menyebabkan hipoksia. Namun, bagi warga Sherpa dan Tibet, tekanan darah tinggi dan hemoglobin rendah mengatasi masalah tersebut.

“Mutasi genetik menjaga tingkat hemoglobin tetap rendah, yang bertindak sebagai pengencer darah alami, dan tekanan tinggi memastikan bahwa ia mencapai setiap sel secara efektif,” Chaubey menjelaskan.

Bandingkan dengan lebih dari 300 pendaki yang, sejak 1953, meninggal dalam perjalanan menuju Gunung Everest, sepertiga di antaranya meninggal karena kekurangan oksigen.

Penelitian yang dipublikasikan di American Journal of Human Biology ini mencakup suku Sherpa, Lepcha, Gorkha, Tibet, dan Bhutia, yang semuanya telah menjadikan Himalaya sebagai rumah sejak dahulu kala.

“Adaptasi akibat mutasi genom telah memungkinkan mereka memanfaatkan tingkat oksigen atmosfer yang lebih sedikit dan iklim dingin. Namun, bagaimana gen-gen ini memodulasi, fenotipenya masih perlu ditemukan,” kata Chaubey.

Koneksi Yeti

Temuan paling mengejutkan, kata Profesor Chaubey, gen yang paling dominan dalam keluarga adaptasi ketinggian (EPAS1) ini adalah hasil introgresi dari manusia purba, yang dikenal sebagai Denisovan, ke manusia modern.
“Banyak ilmuwan mengira Denisovan ini adalah Yeti misterius yang terutama ada dalam cerita rakyat dan cerita,” kata Chaubey.

Denisovan adalah kelompok manusia purba yang berasal dari 370.000 tahun lalu. Disebut demikian karena fosil yang ditemukan di Gua Denisova di pegunungan Altai di Siberia. Mereka hidup pada Zaman Pleistosen, berpindah ke seluruh Eurasia, Asia Selatan dan Melanesia sebelum menghilang 30.000 tahun lalu.

Gen EPAS1 diturunkan dari genom Denisovan ke manusia modern yang beradaptasi dengan oksigen rendah, memungkinkan orang Tibet dan Sherpa modern untuk hidup di dataran tinggi dengan lebih nyaman dibandingkan orang lain.

Ada juga fakta endogami pada populasi Himalaya, mengingat pegunungan merupakan penghalang fisik yang besar terhadap migrasi dan memainkan peran penting dalam membentuk dinamika populasi. Meskipun isolasi jangka panjang, endogami, dan adaptasi lingkungan telah dipelajari untuk populasi di daratan, penelitian terhadap penduduk Himalaya masih sedikit sehingga penelitian terbaru ini merupakan langkah untuk lebih memahami biologi evolusioner mereka.

Sebagai bagian dari penelitian, tim mengukur 10 parameter – berat badan, tinggi badan, BMI, tekanan darah, denyut nadi, SpO2, hemoglobin, hematokrit, dan kadar glukosa darah. Orang Sherpa dan Tibet memiliki rata-rata kandungan hemoglobin sedikit di atas 12g/dl (14,9g/dl adalah nilai kontrol). Sedangkan tekanan darah rata-rata mereka 142/94 (120/80 adalah nilai kontrol). Suku Bhutia memiliki kadar hemoglobin tertinggi (14,23), diikuti oleh Lepcha (13,6).

“Hemoglobin yang relatif rendah dalam darah memfasilitasi sirkulasi darah yang efisien pada populasi dataran tinggi, memungkinkan mereka memanfaatkan lebih sedikit oksigen dengan lebih efisien,” kata Dr. Rakesh Tamang, penulis utama studi tersebut.

Testimoni Para Pendaki

Jaahnvi Sriperanbuduru, pemegang rekor mendaki puncak tertinggi di empat benua pada usia 16 tahun, mengatakan telah melihat pria, wanita, anak-anak, dan bahkan orang lanjut usia hidup dalam kondisi ekstrem di Himalaya.
“Sherpa, bentuk tubuh mereka lebih berbeda dari siapa pun di dunia. Denyut nadi mereka bisa turun ke titik terendah, tapi begitulah bentuk tubuh mereka dan benar-benar normal,” katanya.

Dia dan ayahnya yang seorang dokter, pernah melakukan ekspedisi pendakian gunung bersama. Mereka kerap mendiskusikan struktur tubuh orang-orang yang tinggal di pegunungan Himalaya.
“Tidak seperti Sherpa, kita perlu menyesuaikan tubuh kita setiap kali kita pergi ke lingkungan dataran tinggi karena kita biasanya hidup dengan oksigen 100 persen,” kata Jaahnvi.

Pelatih pendakian gunung dan pemenang penghargaan Petualangan Nasional Shekar Babu Bachinepally mengatakan percaya bahwa penduduk Himalaya memiliki DNA untuk bertahan hidup dalam kondisi iklim ekstrem dan dataran tinggi.

“Bagi pendaki gunung seperti saya, kita harus mendaki ketinggian secara bertahap, memberikan waktu bagi tubuh menyesuaikan diri dengan penurunan oksigen. Waktu dan kapasitas aklimatisasi mungkin berbeda dari individu ke individu, namun memberikan waktu yang cukup untuk aklimatisasi pada tingkat oksigen yang lebih rendah adalah teknik bertahan hidup bagi pendaki gunung,” katanya, membandingkan antara pendaki gunung dan Sherpa.

Seiring dengan aklimatisasi, kata Shekar, pendaki gunung perlu minum banyak air untuk mencegah dehidrasi dan dampak ke tubuh lainnya akibat ketinggian. Namun, orang Himalaya bisa melakukan itu tanpanya.
“Selain itu, kami juga menggunakan kombinasi peralatan khusus, teknik, serta persiapan fisik dan mental untuk bertahan hidup dalam kondisi ekstrem yang ditemukan di pegunungan, sedangkan Sherpa tidak melakukannya,” tuturnya.

Sameer Nicholas, yang perusahaannya Adventure Pulse mengkhususkan diri pada destinasi pegunungan eksotis di seluruh dunia, mengatakan banyak orang yang tinggal di dataran tinggi tanpa masalah apa pun saat bepergian melalui Ladakh.

“Saat menjelajah ke daerah terpencil di Ladakh, khususnya distrik Zanskar, saya mengamati pipi anak-anak balita yang berwarna merah delima dan terbakar sinar matahari, saat mereka bermain di pangkuan ibunya, atau anak-anak kecil yang berlarian di jalan desa, di mana seseorang harus berjuang keras untuk berjalan,” katanya.

Dia menambahkan, lingkungan yang keras telah membuat penduduk asli tidak hanya bertahan hidup tetapi juga berkembang dari generasi ke generasi. Di sisi lain, wisatawan yang terbang ke kota Leh langsung merasakan dampak ketinggian.

Pendaki gunung veteran Raman Chander Sood, yang telah berinteraksi erat dengan Sherpa, Bhutia, dan masyarakat Himalaya lainnya selama misi pendakian, merasa kemampuan mereka mendaki gunung sambil membawa beban berat tanpa usaha sudah terbukti.

“Saya selalu percaya bahwa hal ini terjadi karena mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam kondisi seperti itu, meskipun saya tidak tahu apa pun tentang sisi teknis darah dan parameter (tekanan darah) mereka hingga penemuan terbaru,” kata pria yang telah melakukan trekking sejak kecil dan mendaki puncak di seluruh dunia itu.
(msf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2022 seconds (0.1#10.140)