Restorasi Lahan Gambut Indonesia Berada di Jalur yang Tepat, Hutan Bakau Masih Macet
Selasa, 01 Februari 2022 - 13:25 WIB
“Jadi, di peta ada [lokasi potensial], tetapi terkadang di lapangan tidak bersih dan jelas. Misalnya, mungkin ada perubahan penggunaan dan kepemilikan lahan [lokasi],” katanya dalam kegiatan online.
Dia mengatakan, perlu adanya pemutakhiran peta mangrove yang disusun pemerintah, yang diinformasikan melalui kunjungan lapangan, untuk mengidentifikasi lokasi yang bebas dari potensi konflik dengan pemilik lahan.
Muhammad Ilman, Direktur Program Kelautan di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), sebuah LSM konservasi yang berbasis di Jakarta, mengatakan, situs yang paling menantang adalah kawasan bakau yang telah dikonversi oleh penduduk setempat untuk tambak udang dan ikan. “Ini juga merupakan sebagian besar, 83%, dari hutan bakau yang rusak di Indonesia,” ujarnya.
“Katakanlah saya memiliki 10 hektare tambak ikan dan udang, dan tiba-tiba BRGM mendatangi saya dan memberi tahu saya bahwa mereka ingin merehabilitasi hutan bakau. Tentu saja saya akan mengatakan tidak, karena saya akan kehilangan tambak ikan dan udang saya,” tutur Ilman.
Tahun ini, pemerintah Indonesia berencana merestorasi 300.000 hektare lahan gambut dan 228.200 hektare hutan bakau. Angka bakau hampir tujuh kali lipat dari luas yang direstorasi pada tahun 2021. Untuk mencapai peningkatan ini, BRGM mengatakan akan mengadopsi pendekatan serupa untuk restorasi lahan gambut, dengan mempertimbangkan seluruh lanskap dan harus memperhitungkan tanah yang digunakan untuk tujuan yang berbeda.
Kepala BRGM Hartono mengatakan, pembukaan lahan di satu lokasi kawasan mangrove akan berdampak pada lokasi lainnya. Dalam lanskap mangrove, berbagai penggunaan lahan dapat dari silvofishery hingga ekowisata.
Ilman mengatakan, agar silvofishery dapat dilaksanakan masyarakat lokal, mereka harus diberi akses ke bagian lanskap mangrove yang dikhususkan untuk budidaya udang dan ikan. Dia mengatakan YKAN saat ini sedang mencoba metode baru ini di lokasi mangrove seluas 10 hektare di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur.
Seperlima dari situs tersebut didedikasikan untuk budidaya udang, sementara sisanya sedang direhabilitasi. “Di lahan seluas 2 hektare ini, warga bisa fokus membudidayakan udang tanpa direpotkan dengan daun-daun yang membusuk dari pohon bakau. Sementara, di sisa 8 hektare, kita biarkan tumbuh dan aliran air kembali seperti semula,” katanya.
Dia mengatakan, perlu adanya pemutakhiran peta mangrove yang disusun pemerintah, yang diinformasikan melalui kunjungan lapangan, untuk mengidentifikasi lokasi yang bebas dari potensi konflik dengan pemilik lahan.
Muhammad Ilman, Direktur Program Kelautan di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), sebuah LSM konservasi yang berbasis di Jakarta, mengatakan, situs yang paling menantang adalah kawasan bakau yang telah dikonversi oleh penduduk setempat untuk tambak udang dan ikan. “Ini juga merupakan sebagian besar, 83%, dari hutan bakau yang rusak di Indonesia,” ujarnya.
“Katakanlah saya memiliki 10 hektare tambak ikan dan udang, dan tiba-tiba BRGM mendatangi saya dan memberi tahu saya bahwa mereka ingin merehabilitasi hutan bakau. Tentu saja saya akan mengatakan tidak, karena saya akan kehilangan tambak ikan dan udang saya,” tutur Ilman.
Tahun ini, pemerintah Indonesia berencana merestorasi 300.000 hektare lahan gambut dan 228.200 hektare hutan bakau. Angka bakau hampir tujuh kali lipat dari luas yang direstorasi pada tahun 2021. Untuk mencapai peningkatan ini, BRGM mengatakan akan mengadopsi pendekatan serupa untuk restorasi lahan gambut, dengan mempertimbangkan seluruh lanskap dan harus memperhitungkan tanah yang digunakan untuk tujuan yang berbeda.
Kepala BRGM Hartono mengatakan, pembukaan lahan di satu lokasi kawasan mangrove akan berdampak pada lokasi lainnya. Dalam lanskap mangrove, berbagai penggunaan lahan dapat dari silvofishery hingga ekowisata.
Ilman mengatakan, agar silvofishery dapat dilaksanakan masyarakat lokal, mereka harus diberi akses ke bagian lanskap mangrove yang dikhususkan untuk budidaya udang dan ikan. Dia mengatakan YKAN saat ini sedang mencoba metode baru ini di lokasi mangrove seluas 10 hektare di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur.
Seperlima dari situs tersebut didedikasikan untuk budidaya udang, sementara sisanya sedang direhabilitasi. “Di lahan seluas 2 hektare ini, warga bisa fokus membudidayakan udang tanpa direpotkan dengan daun-daun yang membusuk dari pohon bakau. Sementara, di sisa 8 hektare, kita biarkan tumbuh dan aliran air kembali seperti semula,” katanya.
(wib)
tulis komentar anda