Cara India Menetralkan Ancaman saat Senjata UAV Merajalela
loading...
A
A
A
JAKARTA - India kini mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan udara terutama dari drone Unmanned Aerial Vehicles (UAV) yang merajalela. Apalagi, negara tersebut memiliki pengalaman pahit perihal drone UAV.
Pada 2021 lalu, India sempat mendapatkan serangan dari drone UAV yang menjatuhkan beberapa bahan peledak di wilayah Jammu. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam serangan tersebut.
Serangan drone UAV tersebut diduga berasal dari kalangan teroris yang mendapat sokongan dari Pakistan. Kelompok ini biasa disebut dengan "non-state actors".
Melansir dari Eurasian Times, UAV merupakan drone yang dipersenjatai secara intensif selama tiga dekade terakhir. Amerika Serikat menjadi negara yang paling sering menggunakan pesawat tanpa awak ini.
Drone menjadi salah satu ancaman yang sangat sulit untuk dideteksi lantaran punya tingkat kebisingan rendah, tanda panas yang tidak signifikan, dan Radar Cross Section (RCS) yang kecil.
Hal tersebut membuat radar pendeteksi yang berada di darat atau udara sulit untuk menandai keberadaan drone.
Beberapa negara telah mencoba mengembangkan teknologi pendeteksian drone, tetapi tidak ada sistem pendeteksian yang benar-benar akurat.
Militer AS di Irak saja telah dibanjiri drone kecil yang dipergunakan untuk pengawasan dan pengintaian. Beberapa drone yang ditangkap atau ditembak jatuh rupanya telah dilengkapi dengan sistem Electronic Counter Measures (ECM).
Jenderal Frank McKenzie, jenderal tertinggi AS di Timur Tengah, mengatakan, “drone adalah ancaman terbesar bagi pasukan AS di wilayah tersebut.”
Serangan pesawat tak berawak yang paling signifikan dan menghancurkan adalah di Kilang Minyak Saudi, yang dipertahankan dengan ketat oleh campuran Senjata AD dan SAM. Sebuah laporan yang belum dikonfirmasi menyatakan bahwa drone dapat diluncurkan sejauh 100 km atau lebih.
Terlepas dari seluruh keunggulan drone, pesawat tak berawak ini juga punya keterbatasan yang dapat dimanfaatkan.
Pada dasarnya drone merupakan mesin yang rapuh dan dapat dihancurkan dalam sekali serang, bahkan dari peluru senapan sekalipun.
Untuk mengendalikannya juga diperlukan tenaga ahli yang memadai dan tidak digunakan sembarang orang. Untuk pelepasan senjatanya juga harus dalam ketinggian terendah, membuat senjata ini mudah untuk terdeteksi.
Selain itu, drone yang biasa beroperasi di wilayah Timur Tengah kebanyakan masih dilengkapi sensor inframerah yang akan dapat terdeteksi.
Militer India harus mempertimbangkan penggunaan drone untuk pengawasan 24 jam di area sensitif seperti lapangan udara, baik siang maupun malam, dengan mengembangkan SOP yang sesuai untuk tetap berada di luar jalur penerbangan pesawat.
Sampai sistem deteksi dan netralisasi drone yang asli menjadi layak dan tersedia secara operasional, ancaman drone akan tetap menjadi ancaman, terutama yang dekat dengan daerah perbatasan yang terganggu.
Pada 2021 lalu, India sempat mendapatkan serangan dari drone UAV yang menjatuhkan beberapa bahan peledak di wilayah Jammu. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam serangan tersebut.
Serangan drone UAV tersebut diduga berasal dari kalangan teroris yang mendapat sokongan dari Pakistan. Kelompok ini biasa disebut dengan "non-state actors".
Melansir dari Eurasian Times, UAV merupakan drone yang dipersenjatai secara intensif selama tiga dekade terakhir. Amerika Serikat menjadi negara yang paling sering menggunakan pesawat tanpa awak ini.
Drone menjadi salah satu ancaman yang sangat sulit untuk dideteksi lantaran punya tingkat kebisingan rendah, tanda panas yang tidak signifikan, dan Radar Cross Section (RCS) yang kecil.
Hal tersebut membuat radar pendeteksi yang berada di darat atau udara sulit untuk menandai keberadaan drone.
Cara India Menetralkan Drone
Deteksi visual merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan oleh India untuk menandai adanya drone yang muncul. Namun ini hanya berlaku dalam keadaan siang hari.Beberapa negara telah mencoba mengembangkan teknologi pendeteksian drone, tetapi tidak ada sistem pendeteksian yang benar-benar akurat.
Militer AS di Irak saja telah dibanjiri drone kecil yang dipergunakan untuk pengawasan dan pengintaian. Beberapa drone yang ditangkap atau ditembak jatuh rupanya telah dilengkapi dengan sistem Electronic Counter Measures (ECM).
Jenderal Frank McKenzie, jenderal tertinggi AS di Timur Tengah, mengatakan, “drone adalah ancaman terbesar bagi pasukan AS di wilayah tersebut.”
Serangan pesawat tak berawak yang paling signifikan dan menghancurkan adalah di Kilang Minyak Saudi, yang dipertahankan dengan ketat oleh campuran Senjata AD dan SAM. Sebuah laporan yang belum dikonfirmasi menyatakan bahwa drone dapat diluncurkan sejauh 100 km atau lebih.
Terlepas dari seluruh keunggulan drone, pesawat tak berawak ini juga punya keterbatasan yang dapat dimanfaatkan.
Pada dasarnya drone merupakan mesin yang rapuh dan dapat dihancurkan dalam sekali serang, bahkan dari peluru senapan sekalipun.
Untuk mengendalikannya juga diperlukan tenaga ahli yang memadai dan tidak digunakan sembarang orang. Untuk pelepasan senjatanya juga harus dalam ketinggian terendah, membuat senjata ini mudah untuk terdeteksi.
Selain itu, drone yang biasa beroperasi di wilayah Timur Tengah kebanyakan masih dilengkapi sensor inframerah yang akan dapat terdeteksi.
Militer India harus mempertimbangkan penggunaan drone untuk pengawasan 24 jam di area sensitif seperti lapangan udara, baik siang maupun malam, dengan mengembangkan SOP yang sesuai untuk tetap berada di luar jalur penerbangan pesawat.
Sampai sistem deteksi dan netralisasi drone yang asli menjadi layak dan tersedia secara operasional, ancaman drone akan tetap menjadi ancaman, terutama yang dekat dengan daerah perbatasan yang terganggu.
(bim)