Ilmuwan Temukan Gelombang Kematian, Proses Awal Meninggal Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Para ilmuwan berhasil menemukan gelombang kematian di otak yang jadi tanda awal dari proses meninggal dunia. Mereka yakin kondisi itu bisa saja dibalik agar kematian bisa dicegah.
Dilansir dari Newsweek, Selasa (19/12/2023) dalam temuan yang diterbitkan di jurnal Neurobiology of Disease, disebutkan bahwa kematian umumnya dianggap sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan berhentinya aktivitas dan fungsi otak secara total dan tidak dapat diubah. Menurut pandangan ini, momen kematian diwakili oleh peristiwa tersendiri yang menyebabkan seluruh proses otak berhenti secara tiba-tiba.
Namun dari sudut pandang neurologis pengertiannya justru berbeda lagi. Dalam kacamata neurologis proses kematian dapat berlangsung beberapa menit dan disertai dengan serangkaian perubahan kompleks dalam aktivitas otak. Bahkan dalam beberapa kasus menurut mereka proses itu bisa saja dibalik.
Temuan terbaru ini merupakan hasil penelitian para ilmuwan dari Paris Brain Institute pada tikus laboratorium. Dalam penelitian itu diperlihatkan bahwa manusia menjalani proses kematian setelah kekurangan oksigen dalam jangka waktu lama, yang dikenal sebagai anoksia.
Saat itu terjadi aktivitas di otak mengalami serangkaian perubahan berturut-turut. Otak yang berhenti menerima oksigen kemudian mengalami gangguan pada neuron.
Di saat itu sejumlah besar senyawa yang dikenal sebagai glutamatneurotransmitter terlepas. Senyawa itu yang kemudian mengirimkan sinyal ke otak dan seluruh saraf di tubuh
Sinyal-sinyal itu membuat aktivitas neuron secara bertahap berkurang. Puncaknya keheningan sempurna di otak tercapai.
Namun keheningan ini dengan cepat disela oleh munculnya gelombang kematian. Hadirnya gelombang kematian itu yang dinamakan para ilmuwan sebagai depolarisasi anoksik. Fenomena ini tampaknya memicu kematian sel di wilayah otak yang dikenal sebagai korteks.
“Gelombang ini biasanya dikaitkan dengan pengalaman sadar. Dalam konteks ini, gelombang ini mungkin terlibat dalam pengalaman mendekati kematian yang dilaporkan oleh orang-orang yang selamat dari serangan jantung dan pernafasan,” kata Severine Mahon, ahli saraf dari PBI.
Hal senada juga dikuatkan ilmuwan lainnya, Antoine Carton-Leclercq dari PBI. Dia mengatakan depolarisasi ankoksi akan menginduksi kematian neuron di seluruh korteks. Gelombang kematian yang bergerak lambat menyebar ke seluruh korteks hingga kesadaran akhirnya padam. "Itu adalah penanda transisi menuju penghentian semua aktivitas otak,” kata Antoine Carton-Leclercq.
Ditemukannya gelombang kematian yang ada di otak justru bukan cara ilmuwan menipu kematian. Mereka justru melihat penelitian itu dapat membantu para ilmuwan memahami kelompok neuron atau sel saraf mana di otak yang paling rentan jika terjadi serangan jantung dan pernafasan. "Pada akhirnya, hal ini dapat mengurangi risiko komplikasi neurologis," kata Antoine Carton-Leclerq.
Dilansir dari Newsweek, Selasa (19/12/2023) dalam temuan yang diterbitkan di jurnal Neurobiology of Disease, disebutkan bahwa kematian umumnya dianggap sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan berhentinya aktivitas dan fungsi otak secara total dan tidak dapat diubah. Menurut pandangan ini, momen kematian diwakili oleh peristiwa tersendiri yang menyebabkan seluruh proses otak berhenti secara tiba-tiba.
Namun dari sudut pandang neurologis pengertiannya justru berbeda lagi. Dalam kacamata neurologis proses kematian dapat berlangsung beberapa menit dan disertai dengan serangkaian perubahan kompleks dalam aktivitas otak. Bahkan dalam beberapa kasus menurut mereka proses itu bisa saja dibalik.
Temuan terbaru ini merupakan hasil penelitian para ilmuwan dari Paris Brain Institute pada tikus laboratorium. Dalam penelitian itu diperlihatkan bahwa manusia menjalani proses kematian setelah kekurangan oksigen dalam jangka waktu lama, yang dikenal sebagai anoksia.
Baca Juga
Saat itu terjadi aktivitas di otak mengalami serangkaian perubahan berturut-turut. Otak yang berhenti menerima oksigen kemudian mengalami gangguan pada neuron.
Di saat itu sejumlah besar senyawa yang dikenal sebagai glutamatneurotransmitter terlepas. Senyawa itu yang kemudian mengirimkan sinyal ke otak dan seluruh saraf di tubuh
Sinyal-sinyal itu membuat aktivitas neuron secara bertahap berkurang. Puncaknya keheningan sempurna di otak tercapai.
Namun keheningan ini dengan cepat disela oleh munculnya gelombang kematian. Hadirnya gelombang kematian itu yang dinamakan para ilmuwan sebagai depolarisasi anoksik. Fenomena ini tampaknya memicu kematian sel di wilayah otak yang dikenal sebagai korteks.
“Gelombang ini biasanya dikaitkan dengan pengalaman sadar. Dalam konteks ini, gelombang ini mungkin terlibat dalam pengalaman mendekati kematian yang dilaporkan oleh orang-orang yang selamat dari serangan jantung dan pernafasan,” kata Severine Mahon, ahli saraf dari PBI.
Baca Juga
Hal senada juga dikuatkan ilmuwan lainnya, Antoine Carton-Leclercq dari PBI. Dia mengatakan depolarisasi ankoksi akan menginduksi kematian neuron di seluruh korteks. Gelombang kematian yang bergerak lambat menyebar ke seluruh korteks hingga kesadaran akhirnya padam. "Itu adalah penanda transisi menuju penghentian semua aktivitas otak,” kata Antoine Carton-Leclercq.
Ditemukannya gelombang kematian yang ada di otak justru bukan cara ilmuwan menipu kematian. Mereka justru melihat penelitian itu dapat membantu para ilmuwan memahami kelompok neuron atau sel saraf mana di otak yang paling rentan jika terjadi serangan jantung dan pernafasan. "Pada akhirnya, hal ini dapat mengurangi risiko komplikasi neurologis," kata Antoine Carton-Leclerq.
(msf)