Inovasi Hijau, Solusi Problem Petani Jember

Rabu, 07 Agustus 2024 - 11:57 WIB
loading...
Inovasi Hijau, Solusi...
Smart Green House kelompok Harapan Tani di Kecamatan Sukowono, Jember. Foto/UNEJ
A A A
JEMBER - Penerapan inovasi hijau kini banyak diadopsi sebagai solusi problem petani akibat perubahan kondisi lingkungan. Bentuk riilnya berupa pemanfaatan teknologi pertanian seperti yang dilakukan oleh para petani di Jember, Jawa Timur.

Kelompok Harapan Tani di Kecamatan Sukowono, Jember terkenal dengan produksi cabai yang selalu mencapai puluhan ton. Namun, beberapa sesi panen mereka menemui problem dengan hama. Kondisi ini mengakibatkan penurunan kuantitas produksi cabai.

Para petani pun meminta saran untuk mengatasi permasalahan hama pada tanaman cabai, khususnya Antraknosa kepada Tim Program Kreativitas Mahasiswa Penerapan IPTEK (PKM-PI) Universitas Jember (UNEJ). Setelah pengecekan ke lapangan, diputuskan untuk menggunakan Smart Green House dan pembuatan Adjuvan Organik untuk disemprotkan ke tanaman cabai.

Inovasi Hijau, Solusi Problem Petani Jember


"Intinya menggunakan solusi kreatif untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan memaksimalkan keberlanjutan. Inovasi hijau melibatkan pengembangan teknologi, proses, produk, layanan, atau model bisnis baru yang lebih ramah lingkungan daripada yang digantikannya," kata Ketua Tim Adjuvan Dyah Retno Anggraini kepada SINDOnews.

Tujuan inovasi hijau juga untuk meningkatkan efisiensi sumber daya dengan mengurangi limbah atau meningkatkan efisiensi energi. Melalui cara inovatif, jelas Dyah, petani bisa mengurangi jejak lingkungan serta memastikan sumber daya alam digunakan secara bertanggung jawab dan tetap tersedia untuk generasi mendatang.



Proses pembuatan Adjuvan organik dilakukan dengan menghaluskan 100 gram kunyit atau temulawak dengan 1 liter air, kemudian disaring. Hasil saringan digunakan sebanyak 10 persen dengan perbandingan 1:1 antara adjuvan dan pestisida, masing-masing 750 mililiter dalam 15 liter air. Campuran ini kemudian disemprotkan pada tanaman setiap dua minggu sekali.

“Pestisida nabati yang berbahan organik memiliki keterbatasan dalam hal ketahanan setelah diaplikasikan. Adjuvan organik, yang terbuat dari senyawa kurkumin seperti kunyit atau temulawak, berfungsi untuk memertahankan fungsi dan efektivitas pestisida nabati, sehingga tanaman cabai tetap terlindungi lebih lama dari serangan hama dan penyakit,” kata Inneke Yekhorlin, anggota Tim Adjuvan.

Inovasi Hijau, Solusi Problem Petani Jember


Sedangkan Smart Green House dilengkapi dengan sistem automatisasi berbasis teknologi Arduino Uno. Sistem ini dirancang untuk mengontrol kondisi dalam green house secara otomatis, termasuk suhu, kelembaban, dan pencahayaan. Sumber energinya berasal dari panel surya untuk menekan biaya listrik dan meningkatkan keuntungan petani.

Suhu yang tinggi di greenhouse menyebabkan efektivitas pestisida nabati menurun. Kondisi inilah yang menyebabkan infeksi jamur menjadi semakin parah sehingga melatarbelakangi penciptaan Smart Green House dan Adjuvan Organik.

Inovasi Hijau, Solusi Problem Petani Jember


Kedua cara tadi ternyata selaras dengan hasil produksi tanaman cabai Kelompok Harapan Tani. “Pengaplikasian Adjuvan Organik memberikan dampak nyata dengan mengurangi jumlah hama, terutama Aphids, pada tanaman cabai hingga kurang lebih 30 persen," kata salah satu perwakilan dari kelompok tani, Lukman.



Program ini, sebutnya, sangat bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam operasional petani. Lantaran terdapat penambahan sprinkler, lampu, dan sensor-sensor yang dirangkai dalam satu sistem otomatisasi perawatan tanaman cabai di green house.

Pengaplikasian teknologi pertanian yang ramah lingkungan tersebut dikenal juga dengan teknologi pertanian presisi. Disebut presisi karena dapat menyesuaikan dengan kondisi setempat dan diterapkan secara efektif bagi petani kecil.

Inovasi Hijau, Solusi Problem Petani Jember


"Melalui pengelolaan pertanian yang disesuaikan, kita dapat mencapai tujuan untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi pemborosan makanan. Oleh karena itu perkenalan teknologi canggih dan praktik pertanian presisi kepada petani kecil harus diberlakukan," kata dosen Fakultas Teknologi Pertanian UNEJ Prof. Bayu Taruna Widjaja Putra.

Ia berharap upaya kolaboratif untuk memperkenalkan teknologi canggih dan praktik pertanian presisi kepada petani kecil di Indonesia semakin masif. Pengembangannya bisa melalui Center of Excellence on Artificial Intelligence (AI) untuk industri pertanian dan laboratorium pertanian presisi dan geoinformatika.

"Dengan cara ini, kita tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas tetapi juga menjaga keberlanjutan sektor pertanian di masa mendatang," ujar Prof. Bayu.

Kolaborasi bisa tercipta antara Kementerian Pertanian, akademisi serta petani yang mencakup beberapa inisiatif utama berfokus pada publikasi ilmiah dan praktik bersama, serta pengembangan dan adaptasi teknologi agar sesuai dengan kondisi khusus petani kecil.

"Pelaku kolaborasi tadi harus berkomitmen untuk mengembangkan teknologi yang dapat diaplikasikan dalam pertanian industri, khususnya bagi petani kecil," ujar Prof Bayu.



Ihwal smart farming seperti yang dilakukan para akademisi UNEJ dan petani dampingan di atas mendapat apresiasi dari Kementan. Seperti yang disampaikan Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian Kementan (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi saat mengunjungi Kebun Cabai Wonosari Farm di Kabupaten Pasuruan, beberapa waktu lalu.

"Intinya Smart farming adalah pertanian cerdas, dilakukan oleh orang yang cerdas, cara yang cerdas dengan mengadopsi teknologi. Dan yang paling penting Petani harus menguasai pasar," ujarnya.

Dilansir dari laman BPPSDMP Kementan, Kebun Cabai Wonosari Farm dikelola oleh Mashuda, petani milenial dengan komoditas cabai yang menerapkan smart farming dengan rumah kaca sederhana, beratap plastik dan bertiang bambu.

Untuk 1 rumah kaca luas 1.000 meter persegi dengan 3.000 populasi tanaman, satu pohon dalam satu tahun dapat menghasilkan 5,23 Kg atau total estimasi produksi 15 Ton, dengan harga cabai yang bervariasi misal Rp25.000 per kilogram didapat hampir Rp400 juta omset satu unit rumah kaca ini.

"Yang saya perhatikan, pertama varietas yang dipilih memang varietas yang tinggi nilai jualnya, dan yang tahan terhadap penyakit, kedua untuk nutrisi dengan mengggunakan irigasi tetes, dan menggunakan tanah yang sebelumnya disuburkan dahulu dengan pupuk kandang, dengan tambahan dolomit. Dengan nutrisi yang optimal maka hasil yang didapat akan maksimal," katanya.

Dedi menambahkan, yang perlu dibangun adalah pertama rumah kaca. "Kenapa? Karena dengan rumah kaca micro climate (suhu, cahaya, kelembaban) dapat dikendalikan, kedua pengendalian hama penyakit, dengan menggunakan rumah kaca hama penyakit tidak dapat masuk," ujarnya.
(msf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1350 seconds (0.1#10.140)