Ilmuwan Temukan Pohon yang Mampu Cegah Perubahan Iklim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sebuah studi baru menunjukkan pohon tulip bisa menyerap dan menyimpan karbondioksida di udara dengan optimal.
Pohon biasanya diklasifikasikan menjadi dua kategori, yakni kayu keras (angiosperma) dan kayu lunak (gymnosperma). Studi baru menunjukkan ada jenis kayu ketiga sebagai kayu tengah seperti yang didapati dari pohon tulip (Liriodendron tulipifera), yang mengandung elemen struktural yang ukurannya berada di antara kayu keras dan kayu lunak.
Tak ayal, pohon tulip tumbuh dengan cepat dan sangat efisien dalam menyimpan karbondioksida, para peneliti berharap penelitian lebih lanjut dapat membantu membuka rahasia mereka dan berpotensi membiakkan kayu serupa pohon tulip ke spesies lain untuk menangkap karbondioksida.
Popular Mechanics melansir, Rabu (25/9/2024) struktur seluler uniknya membantu menjelaskan kemampuannya dalam menyerap karbondioksida, terutama dalam konteks perubahan iklim saat ini. Penemuan ini membuka kemungkinan untuk mengeksplorasi jenis pohon lain dengan atribut serupa.
Pohon tulip atau poplar kuning menjadi salah satu pohon terindah di Amerika Utara. Anggota keluarga magnolia, pohon yang tumbuh cepat ini—berukuran rata-rata 63,5 sentimeter per tahun hingga mencapai ketinggian sekitar 45,7 meter—menampilkan daun yang khas, dan kayunya digunakan untuk berbagai tujuan mulai dari furnitur hingga mainan dan alat musik.
Kapasitas penangkapan karbondioksida diperkirakan menyerap dua hingga enam kali lebih banyak karbondioksida di hutan karena termasuk spesies yang dominan. Tetapi apa sebenarnya yang membuatnya begitu progresif menyerap karbondioksia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, para ilmuwan dari University of Cambridge dan Jagiellonian University di Polandia menganalisa arsitektur nanoskala dari dinding sel sekunder dalam sampel terhidrasi pohon menggunakan teknik yang disebut mikroskop elektron pemindaian suhu rendah. Penemuan ini bakal mengubah dasar-dasar bagaimana para ilmuwan mengidentifikasi pohon. Hasil penelitian tersebut pun dipublikasikan dalam jurnal New Phytologist.
"Data survei kami telah memberi kami wawasan baru tentang hubungan evolusioner antara nanostruktur kayu dan komposisi dinding sel, yang berbeda di antara garis keturunan tanaman angiosperma dan gymnosperma," kata Raymond Wightman, salah satu penulis penelitian dari University of Cambridge.
Dinding sel angiosperma memiliki unit dasar yang lebih sempit yang disebut makrofibril, dibandingkan dengan gymnosperma. Angiosperma—biasanya pohon gugur (oak, birch, dan maple) yang menghasilkan biji yang dilindungi oleh buah—dianggap sebagai kayu keras.
Gymnosperma, di sisi lain, berupa kayu lunak, termasuk kategori seperti konifer penghasil kerucut. Menurut penelitian ini, angiosperma berdaun lebar biasanya memiliki makrofibril (filamen yang terbuat dari selulosa) berdiameter sekitar 15 nanometer, sedangkan makrofibril pada kayu lunak berukuran sekitar 25 nanometer.
Pohon tulip, bersama dengan kerabat aslinya dari Cina (Liriodendron chinense), biasanya dianggap sebagai kayu keras. Tetapi, anehnya, kedua spesies memiliki ukuran makrofibril yang tepat di tengah dua jenis pohon ini.
“Kami menunjukkan Liriodendrons memiliki struktur makrofibril menengah yang secara signifikan berbeda dari struktur kayu lunak atau kayu keras,” kata Jan Łyczakowski, salah satu penulis penelitian dari Jagiellonian University, dalam sebuah pernyataan pers.
Liriodendrons menyimpang dari pohon magnolia sekitar 30-50 juta tahun lalu, bertepatan dengan penurunan karbondioksida di atmosfer yang cepat. Hal ini mungkin membantu menjelaskan mengapa pohon tulip sangat efektif dalam penyimpanan karbon.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam The Conversation minggu ini oleh Łyczakowski dan Wightman, mereka menjelaskan ketika pohon-pohon ini pertama kali berevolusi, karbondioksida atmosfer turun dari 1.000 bagian per juta (ppm) menjadi sekitar 500 ppm. Hal ini kemungkinan menyebabkan pohon mengembangkan metode untuk penangkapan karbon yang lebih efektif, pada dasarnya mengubahnya menjadi pohon yang sempurna untuk membantu memerangi krisis iklim saat ini.
Pemahaman ini dapat membantu para ilmuwan menangkap karbon secara lebih efektif di hutan perkebunan, atau bahkan membiakkan kayu serupa pohon tulip ke spesies lain untuk meningkatkan nafsu makan karbon mereka. Untuk saat ini, jenis kayu baru ini menimbulkan pertanyaan tentang pohon lain mana yang mungkin memiliki atribut kayu tengah serupa.
"Kami sekarang melihat apakah struktur kayunya yang tampaknya unik adalah satu-satunya alasan mengapa ia menjadi raja penangkapan karbon, dan kami memperluas pencarian kami untuk mengetahui apakah ada lebih banyak pohon kayu tengah—atau bahkan lebih banyak jenis kayu baru di luar sana," katanya.
Pohon biasanya diklasifikasikan menjadi dua kategori, yakni kayu keras (angiosperma) dan kayu lunak (gymnosperma). Studi baru menunjukkan ada jenis kayu ketiga sebagai kayu tengah seperti yang didapati dari pohon tulip (Liriodendron tulipifera), yang mengandung elemen struktural yang ukurannya berada di antara kayu keras dan kayu lunak.
Tak ayal, pohon tulip tumbuh dengan cepat dan sangat efisien dalam menyimpan karbondioksida, para peneliti berharap penelitian lebih lanjut dapat membantu membuka rahasia mereka dan berpotensi membiakkan kayu serupa pohon tulip ke spesies lain untuk menangkap karbondioksida.
Popular Mechanics melansir, Rabu (25/9/2024) struktur seluler uniknya membantu menjelaskan kemampuannya dalam menyerap karbondioksida, terutama dalam konteks perubahan iklim saat ini. Penemuan ini membuka kemungkinan untuk mengeksplorasi jenis pohon lain dengan atribut serupa.
Pohon tulip atau poplar kuning menjadi salah satu pohon terindah di Amerika Utara. Anggota keluarga magnolia, pohon yang tumbuh cepat ini—berukuran rata-rata 63,5 sentimeter per tahun hingga mencapai ketinggian sekitar 45,7 meter—menampilkan daun yang khas, dan kayunya digunakan untuk berbagai tujuan mulai dari furnitur hingga mainan dan alat musik.
Kapasitas penangkapan karbondioksida diperkirakan menyerap dua hingga enam kali lebih banyak karbondioksida di hutan karena termasuk spesies yang dominan. Tetapi apa sebenarnya yang membuatnya begitu progresif menyerap karbondioksia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, para ilmuwan dari University of Cambridge dan Jagiellonian University di Polandia menganalisa arsitektur nanoskala dari dinding sel sekunder dalam sampel terhidrasi pohon menggunakan teknik yang disebut mikroskop elektron pemindaian suhu rendah. Penemuan ini bakal mengubah dasar-dasar bagaimana para ilmuwan mengidentifikasi pohon. Hasil penelitian tersebut pun dipublikasikan dalam jurnal New Phytologist.
"Data survei kami telah memberi kami wawasan baru tentang hubungan evolusioner antara nanostruktur kayu dan komposisi dinding sel, yang berbeda di antara garis keturunan tanaman angiosperma dan gymnosperma," kata Raymond Wightman, salah satu penulis penelitian dari University of Cambridge.
Dinding sel angiosperma memiliki unit dasar yang lebih sempit yang disebut makrofibril, dibandingkan dengan gymnosperma. Angiosperma—biasanya pohon gugur (oak, birch, dan maple) yang menghasilkan biji yang dilindungi oleh buah—dianggap sebagai kayu keras.
Gymnosperma, di sisi lain, berupa kayu lunak, termasuk kategori seperti konifer penghasil kerucut. Menurut penelitian ini, angiosperma berdaun lebar biasanya memiliki makrofibril (filamen yang terbuat dari selulosa) berdiameter sekitar 15 nanometer, sedangkan makrofibril pada kayu lunak berukuran sekitar 25 nanometer.
Pohon tulip, bersama dengan kerabat aslinya dari Cina (Liriodendron chinense), biasanya dianggap sebagai kayu keras. Tetapi, anehnya, kedua spesies memiliki ukuran makrofibril yang tepat di tengah dua jenis pohon ini.
“Kami menunjukkan Liriodendrons memiliki struktur makrofibril menengah yang secara signifikan berbeda dari struktur kayu lunak atau kayu keras,” kata Jan Łyczakowski, salah satu penulis penelitian dari Jagiellonian University, dalam sebuah pernyataan pers.
Liriodendrons menyimpang dari pohon magnolia sekitar 30-50 juta tahun lalu, bertepatan dengan penurunan karbondioksida di atmosfer yang cepat. Hal ini mungkin membantu menjelaskan mengapa pohon tulip sangat efektif dalam penyimpanan karbon.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam The Conversation minggu ini oleh Łyczakowski dan Wightman, mereka menjelaskan ketika pohon-pohon ini pertama kali berevolusi, karbondioksida atmosfer turun dari 1.000 bagian per juta (ppm) menjadi sekitar 500 ppm. Hal ini kemungkinan menyebabkan pohon mengembangkan metode untuk penangkapan karbon yang lebih efektif, pada dasarnya mengubahnya menjadi pohon yang sempurna untuk membantu memerangi krisis iklim saat ini.
Pemahaman ini dapat membantu para ilmuwan menangkap karbon secara lebih efektif di hutan perkebunan, atau bahkan membiakkan kayu serupa pohon tulip ke spesies lain untuk meningkatkan nafsu makan karbon mereka. Untuk saat ini, jenis kayu baru ini menimbulkan pertanyaan tentang pohon lain mana yang mungkin memiliki atribut kayu tengah serupa.
"Kami sekarang melihat apakah struktur kayunya yang tampaknya unik adalah satu-satunya alasan mengapa ia menjadi raja penangkapan karbon, dan kami memperluas pencarian kami untuk mengetahui apakah ada lebih banyak pohon kayu tengah—atau bahkan lebih banyak jenis kayu baru di luar sana," katanya.
(msf)