Kelahiran Sang Garuda dari Timur, Taman Nasional Tambora Sambut Kehadiran Anak Elang Flores
loading...
A
A
A
ENDE - Taman Nasional Tambora mendapatkan anggota baru dengan kelahiran anak Elang Flores pada pertengahan Maret 2022. Kelahiran anak Elang Flores yang diberi nama "Febri" ini merupakan salah satu pencapaian luar biasa dari usaha pelestarian salah satu satwa terancam punah ini.
Dari video berdurasi 1.30 menit yang diberi judul “Kelahiran Sang Garuda Dari Timur” terekam proses kelahiran anak Elang Flores yang diberi nama Febri. Mulai dari penemuan sarang Elang Flores di Karyasari pada 21 Oktober 2021, pemantauan aktivitas sepasang Elang Flores di sekitar sarang pada 12 Februari 2022, sampai teramati ada satu butir telur Elang Flores di sarang pada 19 Februari 2021.
Kemudian pada 5 Maret 2022 terpantau aktivitas induk Elang Flores betina mengeram di sarang dan elang jantan mengawasi lingkungan sekitar. Pada 17 Maret 2022, induk Elang Flores betina tampak mengalami perubahan warna bulu dadanya dan sibuk mengumpulkan makanan.
Pada 26 Maret 2022 terdokumentasi keberadaan seekor anak Elang Flores yang sudah meneras di sarang. Saat teramati anak Elang Flores yang diberi nama Febri ini diperkirakan sudah berusia 1-2 minggu.
“Tentunya hal ini merupakan kabar yang sangat menggembirakan bagi dunia konservasi. Semoga keberadaan salah satu jenis raptor yang menyandang kategori terancam punah atau Critically Endangered (menurut IUCN) ini semakin terjaga dan bertambah populasinya,” keterangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui akun Facebook yang dikutip SINDOnews, Minggu (3/4/2022).
Elang Flores merupakan salah satu jenis raptor endemik yang dipunyai Indonesia dari keluarga Accipitridae dan Genus Nisaetus. Elang Flores sebelumnya dianggap sebagai ras Elang Brontok tetapi Gjershaug et al menunjukkan bahwa perbedaan morfologis yang signifikan antara bentuk ini dengan Elang Brontok.
Burung Elang Flores secara fisik tidak terlalu jauh berbeda dengan elang brontok dengan bulu putih di kepala sampai leher dan warna coklat dengan garis putih di ujung sayapnya. Salah satu eksotiseme burung ini biasanya karena memperlihatkan mahkota di atas kepalanya saat bertengger di ranting pohon.
Dikutip dari laman Indonesia.go.id, saat ini populasinya terancam akibat ulah perburuan yang tinggi, diperkirakan antara 100 hingga 240 individu dewasa. Data Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkannya elang flores sebagai jenis Kritis (Critically Endangered/CR).
Sementara itu, dari data Pemerintah Kabupaten Ende yang disampaikan Bupati Marsel Petu pada April 2019, populasi Elang Flores di kawasan Taman Nasional Kelimutu, Flores, Nusa Tenggara Timur semakin terancam dan tersisa hanya tinggal 10 ekor.
Bagi masyarakat setempat, yang sebagian besar masyarakat Flores merupakan suku Manggarai yang kebanyakan dapat mengenali banyak jenis elang. Mereka menamai Elang Flores sebagai Ntangis.
Mereka juga menamai sejumlah kecil elang seperti Jumburiang untuk Elang Bonelli’s (Hieratus fasciatus) dan Lawang ntangis untuk Brahminy Kite (Halistur Indus). Suku Manggarai di bagian barat Flores menganggap bahwa Elang Flores sebagai toem atau empo, leluhur manusa, dan tidak boleh disiksa, dibunuh, atau ditangkap (Trainor & Lesmana 2000).
Dari video berdurasi 1.30 menit yang diberi judul “Kelahiran Sang Garuda Dari Timur” terekam proses kelahiran anak Elang Flores yang diberi nama Febri. Mulai dari penemuan sarang Elang Flores di Karyasari pada 21 Oktober 2021, pemantauan aktivitas sepasang Elang Flores di sekitar sarang pada 12 Februari 2022, sampai teramati ada satu butir telur Elang Flores di sarang pada 19 Februari 2021.
Kemudian pada 5 Maret 2022 terpantau aktivitas induk Elang Flores betina mengeram di sarang dan elang jantan mengawasi lingkungan sekitar. Pada 17 Maret 2022, induk Elang Flores betina tampak mengalami perubahan warna bulu dadanya dan sibuk mengumpulkan makanan.
Pada 26 Maret 2022 terdokumentasi keberadaan seekor anak Elang Flores yang sudah meneras di sarang. Saat teramati anak Elang Flores yang diberi nama Febri ini diperkirakan sudah berusia 1-2 minggu.
“Tentunya hal ini merupakan kabar yang sangat menggembirakan bagi dunia konservasi. Semoga keberadaan salah satu jenis raptor yang menyandang kategori terancam punah atau Critically Endangered (menurut IUCN) ini semakin terjaga dan bertambah populasinya,” keterangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui akun Facebook yang dikutip SINDOnews, Minggu (3/4/2022).
Elang Flores merupakan salah satu jenis raptor endemik yang dipunyai Indonesia dari keluarga Accipitridae dan Genus Nisaetus. Elang Flores sebelumnya dianggap sebagai ras Elang Brontok tetapi Gjershaug et al menunjukkan bahwa perbedaan morfologis yang signifikan antara bentuk ini dengan Elang Brontok.
Burung Elang Flores secara fisik tidak terlalu jauh berbeda dengan elang brontok dengan bulu putih di kepala sampai leher dan warna coklat dengan garis putih di ujung sayapnya. Salah satu eksotiseme burung ini biasanya karena memperlihatkan mahkota di atas kepalanya saat bertengger di ranting pohon.
Dikutip dari laman Indonesia.go.id, saat ini populasinya terancam akibat ulah perburuan yang tinggi, diperkirakan antara 100 hingga 240 individu dewasa. Data Badan Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkannya elang flores sebagai jenis Kritis (Critically Endangered/CR).
Sementara itu, dari data Pemerintah Kabupaten Ende yang disampaikan Bupati Marsel Petu pada April 2019, populasi Elang Flores di kawasan Taman Nasional Kelimutu, Flores, Nusa Tenggara Timur semakin terancam dan tersisa hanya tinggal 10 ekor.
Bagi masyarakat setempat, yang sebagian besar masyarakat Flores merupakan suku Manggarai yang kebanyakan dapat mengenali banyak jenis elang. Mereka menamai Elang Flores sebagai Ntangis.
Mereka juga menamai sejumlah kecil elang seperti Jumburiang untuk Elang Bonelli’s (Hieratus fasciatus) dan Lawang ntangis untuk Brahminy Kite (Halistur Indus). Suku Manggarai di bagian barat Flores menganggap bahwa Elang Flores sebagai toem atau empo, leluhur manusa, dan tidak boleh disiksa, dibunuh, atau ditangkap (Trainor & Lesmana 2000).
(wib)