Dari Napas Gunung Berapi, Ilmuwan Prediksi Kapan Waktu Meletusnya
loading...
A
A
A
TOKYO - Letusan gunung berapi , bagaimanapun, terkenal sulit diprediksi karena belum ada indikator yang tepat. Para ilmuwan terus meningkatkan kemampuan diagnostik untuk mengetahui kapan gunung berapi meletus melalui uji pernapasan.
Tes napas gunung berapi membantu para ilmuwan memprediksi letusan yang mematikan sehingga dapat menghindari dampak buruk yang ditimbulkan. Caranya dengan mempelajari rasio isotop kimia tertentu dalam gas dan uap yang dipancarkan dari fumarole, lubang dan retakan di sekitar gunung berapi.
Profesor Hirochika Sumino dari Pusat Penelitian Sains dan Teknologi Lanjutan dari University of Tokyo mengatakan, pengujian ini mirip memeriksa kondisi kesehatan tubuh manusia dari napasnya. Dokter biasanya akan memeriksa tarikan napas dari dada manusia dan mengukur suhu tubuhnya.
“Ketika Anda membandingkan gunung berapi dengan tubuh manusia, mirip dengan mendengarkan napas di dada dan melakukan pengukuran suhu tubuh. Dengan mengetahui kebisingan dalam dada dan peingkatan suhu secara tiba-tiba, dapat mengetahui masalah kesehatan apa yang mengganggu,” kata Sumino dikutip SINDOnews dari laman cosmosmagazine, Selasa (22/11/2022).
Selama ini indikator eksternal seperti gempa bumi dan deformasi kerak bumi dikenal sebagai metode tradisional untuk mengidentifikasi letusan yang akan segera terjadi. Namun, tidak semua letusan memberikan tanda peringatan dini ini.
Dengan metode uji napas gunung berapi, dengan mempelajari rasio isotop kimia tertentu dalam gas dan uap yang dipancarkan dari fumarole, dapat memberi wawasan yang lebih baik tentang hubungan antara perubahan komposisi magma dan letusan.
“Menganalisis komposisi kimia dan isotop unsur-unsur dalam gas fumarolik seperti tes napas atau tes darah. Ini berarti kami melihat materi sebenarnya yang langsung berasal dari magma untuk mengetahui dengan tepat apa yang terjadi dengan magma tersebut,” ujar Sumino.
Penelitian sebelumnya mengamati gas yang terkait dengan letusan gunung berapi di Kepulauan Canary pada tahun 2011. Ketika gunung meletus menunjukkan peningkatan rasio isotop helium yang lebih berat sebagai ciri khas bahan mantel Bumi.
“Kami tahu bahwa rasio isotop helium menjadi sangat tinggi ketika aktivitas magma meningkat. Kami masih mempelajari kenapa saat peningkatan magmatik banyak gas helium dilepas dari mantel Bumi,” beber Sumino.
Sumino dan tim mencari jawabannya pemeriksaan gas fumerol di sekitar Kusatsu-Shirane, gunung berapi aktif sekitar 150 km barat laut Tokyo. Mereka mengambil sampel gas untuk diperika ke laboratorium setiap beberapa bulan antara tahun 2014 dan 2021.
Para peneliti dapat memastikan pengukuran yang tepat dari komponen isotop, menemukan hubungan antara rasio argon-40 dengan helium-3 ('nilai tinggi'). Ini merupakan isotop helium yang banyak ditemukan saat kerusuhan magmatik.
“Dengan menggunakan model komputer, kami mengungkapkan bahwa rasio tersebut mencerminkan seberapa banyak magma bawah tanah yang berbusa. Kemudian membuat gelembung gas vulkanik yang terpisah dari magma cair,” jelas Sumino.
Sejauh mana magma berbusa mengontrol berapa banyak gas magmatik dalam sistem hidrotermal di bawah gunung berapi dan seberapa apung magma itu, ini ditandai sebagai hal pertama terkait dengan risiko letusan freatik. Di mana peningkatan tekanan air dalam sistem hidrotermal menyebabkan letusan.
“Bagian terakhir ini akan meningkatkan laju pendakian magma, menghasilkan letusan magmatik,” tegas Sumino. Kolaborasi penelitian sekarang sedang mengembangkan jenis spektrometer massa portabel yang dapat digunakan di lapangan untuk menganalisis waktu secara nyata.
Kemudian, mengurangi kebutuhan untuk terus-menerus mengumpulkan dan mengangkut sampel ke laboratorium. Sebab, proses ini sangat memakan waktu dan menantang para ahli gunung berapi di lapangan.
“Langkah kami selanjutnya adalah membuat protokol analisis gas dengan instrumen baru ini, untuk memantau semua gunung berapi aktif. Setidaknya yang berpotensi menimbulkan bencana bagi penduduk setempat dipantau 24 jam sehari, tujuh hari seminggu,” kata Sumino.
Tes napas gunung berapi membantu para ilmuwan memprediksi letusan yang mematikan sehingga dapat menghindari dampak buruk yang ditimbulkan. Caranya dengan mempelajari rasio isotop kimia tertentu dalam gas dan uap yang dipancarkan dari fumarole, lubang dan retakan di sekitar gunung berapi.
Profesor Hirochika Sumino dari Pusat Penelitian Sains dan Teknologi Lanjutan dari University of Tokyo mengatakan, pengujian ini mirip memeriksa kondisi kesehatan tubuh manusia dari napasnya. Dokter biasanya akan memeriksa tarikan napas dari dada manusia dan mengukur suhu tubuhnya.
“Ketika Anda membandingkan gunung berapi dengan tubuh manusia, mirip dengan mendengarkan napas di dada dan melakukan pengukuran suhu tubuh. Dengan mengetahui kebisingan dalam dada dan peingkatan suhu secara tiba-tiba, dapat mengetahui masalah kesehatan apa yang mengganggu,” kata Sumino dikutip SINDOnews dari laman cosmosmagazine, Selasa (22/11/2022).
Selama ini indikator eksternal seperti gempa bumi dan deformasi kerak bumi dikenal sebagai metode tradisional untuk mengidentifikasi letusan yang akan segera terjadi. Namun, tidak semua letusan memberikan tanda peringatan dini ini.
Dengan metode uji napas gunung berapi, dengan mempelajari rasio isotop kimia tertentu dalam gas dan uap yang dipancarkan dari fumarole, dapat memberi wawasan yang lebih baik tentang hubungan antara perubahan komposisi magma dan letusan.
“Menganalisis komposisi kimia dan isotop unsur-unsur dalam gas fumarolik seperti tes napas atau tes darah. Ini berarti kami melihat materi sebenarnya yang langsung berasal dari magma untuk mengetahui dengan tepat apa yang terjadi dengan magma tersebut,” ujar Sumino.
Penelitian sebelumnya mengamati gas yang terkait dengan letusan gunung berapi di Kepulauan Canary pada tahun 2011. Ketika gunung meletus menunjukkan peningkatan rasio isotop helium yang lebih berat sebagai ciri khas bahan mantel Bumi.
“Kami tahu bahwa rasio isotop helium menjadi sangat tinggi ketika aktivitas magma meningkat. Kami masih mempelajari kenapa saat peningkatan magmatik banyak gas helium dilepas dari mantel Bumi,” beber Sumino.
Sumino dan tim mencari jawabannya pemeriksaan gas fumerol di sekitar Kusatsu-Shirane, gunung berapi aktif sekitar 150 km barat laut Tokyo. Mereka mengambil sampel gas untuk diperika ke laboratorium setiap beberapa bulan antara tahun 2014 dan 2021.
Para peneliti dapat memastikan pengukuran yang tepat dari komponen isotop, menemukan hubungan antara rasio argon-40 dengan helium-3 ('nilai tinggi'). Ini merupakan isotop helium yang banyak ditemukan saat kerusuhan magmatik.
“Dengan menggunakan model komputer, kami mengungkapkan bahwa rasio tersebut mencerminkan seberapa banyak magma bawah tanah yang berbusa. Kemudian membuat gelembung gas vulkanik yang terpisah dari magma cair,” jelas Sumino.
Sejauh mana magma berbusa mengontrol berapa banyak gas magmatik dalam sistem hidrotermal di bawah gunung berapi dan seberapa apung magma itu, ini ditandai sebagai hal pertama terkait dengan risiko letusan freatik. Di mana peningkatan tekanan air dalam sistem hidrotermal menyebabkan letusan.
“Bagian terakhir ini akan meningkatkan laju pendakian magma, menghasilkan letusan magmatik,” tegas Sumino. Kolaborasi penelitian sekarang sedang mengembangkan jenis spektrometer massa portabel yang dapat digunakan di lapangan untuk menganalisis waktu secara nyata.
Kemudian, mengurangi kebutuhan untuk terus-menerus mengumpulkan dan mengangkut sampel ke laboratorium. Sebab, proses ini sangat memakan waktu dan menantang para ahli gunung berapi di lapangan.
“Langkah kami selanjutnya adalah membuat protokol analisis gas dengan instrumen baru ini, untuk memantau semua gunung berapi aktif. Setidaknya yang berpotensi menimbulkan bencana bagi penduduk setempat dipantau 24 jam sehari, tujuh hari seminggu,” kata Sumino.
(wib)