Kuburan Nuklir Jadi Bom Waktu yang Menakutkan di Samudra Pasifik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kuburan nuklir yang ada di beberapa wilayah di Samudra Pasifik jadi bom waktu yang sangat menakutkan. Pasalnya beberapa lokasi yang ada di wilayah Kepulauan Marshall seperti Bikini Atoll justru merupakan tempat Amerika Serikat melakukan uji coba ledakan nuklir .
Diketahui sejak tahun 1946 hingga 1958, Amerika Serikat selalu melakukan uji coba ledakan nuklir di Bikini Atoll. Tidak main-main total ada 67 bom nuklir yang diledakkan di wilayah tersebut.
IFL Science bahkan mengatakan kondisi itu membuat Bikini Atoll jauh lebih berbahaya dibanding Chernobyl. Tingkat radiasi yang ada di Bikini Atoll jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah yang ada di Rusia itu.
Salah satu ledakan bom nuklir yang paling besar di Bikini Atoll adalah ledakan bom nuklir bernama Castle Bravo yang terjadi pada 1 Maret 1954. Ledakan yang terjadi lebih besar 1.000 kali dibanding bom nuklir yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pada 6 dan 9 Agustus 1945.
Masalahnya adalah menurut Tom Hale, analis senior dari IFL Science, pada akhir tahun 1970-an Amerika Serikat mengubur seluruh bekas tanah dan puing-puing yang terkena radiasi ke Pulau Runit. Di pulau itu seluruh tanah dan puing yang telah terkena radiasi nuklir dikuburkan.
Kuburan tersebut bukan kuburan biasa karena Amerika Serikat membangun kubah beton yang tebalnya mencapai 45 centimeter dan diameter 115 meter. Kuburan itu mereka namakan Runit Dome.
"Kubah itu awalnya merupakan solusi sementara, hanya saja selama beberapa dekade justru tetap bertahan. Masalahnya penelitian yang dilakukan pada 2019 terdapat retakan yang semakin parah di kubah akibat kenaikan suhu di Samudra Pasifi," ucap Tom Hale.
Tidak hanya itu faktor naiknya permukaan air laut yang terjadi di pantai Pulau Runit mnenyebabkan beton kuburan bom nuklir itu terkikis. Alhasil kemungkinan bocornya bahan radioaktif ke dalam tanah dan air di sekitar Pulau Runit sangat besar.
Alhasil kuburan sisa-sisa radiasi bom nuklir itu tak ubahnya seperti bom waktu buat masyarakat di Samudra Pasifik. Tentunya dengan jumlah sisa radiasi yang sangat besar dari Chernobyl kondisi itu benar-benar jadi hal yang sangat menakutkan.
Ken Buesseler analis radioaktif dari Woods Hole Oceanographic Institution mengatakan yang paling dikhawatirkan adalah plutonium yang ada di kuburan nuklir itu. Jika plutonioum tersebut keluar dan meledak lagi makan akan jadi sumber radiasi baru yang besar ke Samudra Pasifik.
"Kami perlu memantaunya secara lebih teratur untuk memahami apa yang terjadi, dan mendapatkan datanya langsung ke komunitas yang terkena dampak di wilayah tersebut," jelas Ken Buesseler.
Saat ini wilayah Samudra Pasifik jadi rumah bagi banyak orang terutama yang tinggal di Kepulauan Marshall. Jelas keberadaan kuburan bom nuklir yang ada di wilayah Pulau Runit jadi ancaman yang sangat mengkhawatirkan. Ken Buesseler bahkan yakin tingginya tingkat penderita kanker di wilayah tersebut justru terjadi karena adanya radiasi nuklir yang bocor dari kuburan bom nuklir itu.
Diketahui sejak tahun 1946 hingga 1958, Amerika Serikat selalu melakukan uji coba ledakan nuklir di Bikini Atoll. Tidak main-main total ada 67 bom nuklir yang diledakkan di wilayah tersebut.
IFL Science bahkan mengatakan kondisi itu membuat Bikini Atoll jauh lebih berbahaya dibanding Chernobyl. Tingkat radiasi yang ada di Bikini Atoll jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah yang ada di Rusia itu.
Salah satu ledakan bom nuklir yang paling besar di Bikini Atoll adalah ledakan bom nuklir bernama Castle Bravo yang terjadi pada 1 Maret 1954. Ledakan yang terjadi lebih besar 1.000 kali dibanding bom nuklir yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pada 6 dan 9 Agustus 1945.
Baca Juga
Masalahnya adalah menurut Tom Hale, analis senior dari IFL Science, pada akhir tahun 1970-an Amerika Serikat mengubur seluruh bekas tanah dan puing-puing yang terkena radiasi ke Pulau Runit. Di pulau itu seluruh tanah dan puing yang telah terkena radiasi nuklir dikuburkan.
Kuburan tersebut bukan kuburan biasa karena Amerika Serikat membangun kubah beton yang tebalnya mencapai 45 centimeter dan diameter 115 meter. Kuburan itu mereka namakan Runit Dome.
"Kubah itu awalnya merupakan solusi sementara, hanya saja selama beberapa dekade justru tetap bertahan. Masalahnya penelitian yang dilakukan pada 2019 terdapat retakan yang semakin parah di kubah akibat kenaikan suhu di Samudra Pasifi," ucap Tom Hale.
Tidak hanya itu faktor naiknya permukaan air laut yang terjadi di pantai Pulau Runit mnenyebabkan beton kuburan bom nuklir itu terkikis. Alhasil kemungkinan bocornya bahan radioaktif ke dalam tanah dan air di sekitar Pulau Runit sangat besar.
Alhasil kuburan sisa-sisa radiasi bom nuklir itu tak ubahnya seperti bom waktu buat masyarakat di Samudra Pasifik. Tentunya dengan jumlah sisa radiasi yang sangat besar dari Chernobyl kondisi itu benar-benar jadi hal yang sangat menakutkan.
Ken Buesseler analis radioaktif dari Woods Hole Oceanographic Institution mengatakan yang paling dikhawatirkan adalah plutonium yang ada di kuburan nuklir itu. Jika plutonioum tersebut keluar dan meledak lagi makan akan jadi sumber radiasi baru yang besar ke Samudra Pasifik.
"Kami perlu memantaunya secara lebih teratur untuk memahami apa yang terjadi, dan mendapatkan datanya langsung ke komunitas yang terkena dampak di wilayah tersebut," jelas Ken Buesseler.
Saat ini wilayah Samudra Pasifik jadi rumah bagi banyak orang terutama yang tinggal di Kepulauan Marshall. Jelas keberadaan kuburan bom nuklir yang ada di wilayah Pulau Runit jadi ancaman yang sangat mengkhawatirkan. Ken Buesseler bahkan yakin tingginya tingkat penderita kanker di wilayah tersebut justru terjadi karena adanya radiasi nuklir yang bocor dari kuburan bom nuklir itu.
(wsb)