Mengenal Nyale, Cacing Laut Warna-warni Reinkarnasi Putri Mandalika

Senin, 12 Juni 2023 - 06:55 WIB
loading...
Mengenal Nyale, Cacing Laut Warna-warni Reinkarnasi Putri Mandalika
Warga lokal dan wisatawan berpartisipasi dalam festival adat Bau Nyale, di Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Foto: Instagram Inside Lombok
A A A
LOMBOK - Nyale adalah kudapan tradisional masyarakat Lombok yang unik. Sebab, memiliki bahan dasar cacing laut. Uniknya lagi, mengolah kudapan ini hanya dilakukan selama satu tahun sekali. Tepatnya, saat perayaan festival Bau Nyale (menangkap nyale).

Bau Nyale berasal dari Suku Sasak di Lombok Selatan, sebuah perayaan yang berasal dari legenda Putri Mandalika. "Bau" dalam bahasa setempat berarti menangkap, sementara "Nyale" adalah sejenis cacing laut berwarna-warni yang muncul setahun sekali di beberapa lokasi tertentu di pantai Lombok.

Selama Festival Bau Nyale, masyarakat lokal berburu cacing warna-warni itu pada malam atau dini hari sebelum terbit matahari. Bahkan, banyak dari mereka yang menginap di sekitar pantai untuk berburu selama beberapa hari.

"Saat waktunya tiba, masyarakat Lombok akan berbondong-bondong memburu Nyale di sejumlah pantai, salah satunya Pantai Seger Kuta," kata peneliti Ilmu Kajian Budaya Universitas Pendidikan Mandalika Lalu Ari Irawan.

Cacing Nyale

Mengenal Nyale, Cacing Laut Warna-warni Reinkarnasi Putri Mandalika

Nyale sendiri merupakan jenis Palola viridis. Yakni cacing perairan air laut dari famili Eunicidae, anggota cacing bersekat yang banyak hidup di pantai-pantai Indo-Pasifik beriklim tropis dan subtropis.

Jenis cacing ini disebut oleh masyarakat lokal Indonesia sebagai cacing palolo maupun nyale. Cacing Palola viridis tinggal di dasar perairan dangkal dekat pantai, di mana mereka menggali liang-liang vertikal dalam pasir atau lumpur. Mereka cenderung hidup dalam koloni besar.

Cacing tersebut memiliki tubuh panjang dan silindris dengan segmen-segmen yang jelas terlihat. Mereka memiliki sepasang parapodia, yaitu "kaki" kecil yang membantu dalam pergerakan dan bernapas. Cacing Palola viridis memiliki warna hijau terang atau kebiruan, yang menjadi ciri khasnya.

Pada malam hari saat pembiakan massal terjadi, cacing Palola viridis naik ke permukaan air dengan gerakan yang berirama dan terkoordinasi. Hal ini sering terjadi pada malam hari dengan kondisi pasang surut tertentu. Fenomena ini cukup menarik dan menakjubkan karena banyak cacing tiba-tiba muncul di perairan dangkal.

Diolah Jadi Berbagai Santapan

Cacing nyale dapat diolah menjadi berbagai santapan. Warga lokal biasa menyajikan nyale dalam bentuk pepes, goreng, atau menjadi hidangan berkuah santan.

Untuk membuat nyale goreng, bahan utama yang diperlukan adalah daun jeruk, parutan kelapa, dan bumbu pelengkap lainnya.
Biasanya nyale goreng dihidangkan dengan nasi putih hangat dan langsung dimakan begitu saja.

Diketahui nyale memiliki cita rasa yang unik. Aromanya serupa dengan makanan laut pada umumnya. Tekstur nyale yang telah dimasak mirip seperti hati ayam, dibalut dengan bumbu rempah khas Lombok yang pedas dan lezat.

Cerita Rakyat Tentang Nyale
Mengenal Nyale, Cacing Laut Warna-warni Reinkarnasi Putri Mandalika

Ratusan warga lokal dan wisatawan berburu cacing laut "Nyale" pada festival adat Bau Nyale, di Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Foto: Antara

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, nyale merupakan reinkarnasi dari putri Mandalika yang dipercaya oleh masyarakat Lombok.
Putri Mandalika menceburkan diri ke laut akibat suatu permasalahan yang pernah ada pada zaman kerajaan Lombok.

Konon setelah sang putri tenggelam di laut, muncul binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak, yang kini disebut sebagai Nyale.
Binatang laut inilah yang diyakini oleh masyarakat Lombok sebagai jelmaan putri Mandalika.

Saat festival nyale tiba, masyarakat akan berlomba-lomba untuk mengambil binatang itu sebanyak-banyaknya.



Putri Mandalika menceburkan diri ke laut pada tanggal 20 bulan ke-10 tahun Sasak. Menurut perhitungan kalender suku Sasak, bulan ke-1 dimulai pada 25 Mei dan setiap bulan memiliki 30 hari. Berbeda dengan tahun Masehi, bulan ke-10 tahun Sasak jatuh pada Februari.

Masyarakat NTB banyak yang mengikuti tradisi ini karena meyakini nyale dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan keburukan bagi orang yangmeremehkannya.
(dan)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1838 seconds (0.1#10.140)