Samudera Atlantik Melebar, Jarak Benua Amerika, Eropa, dan Afrika Semakin Menjauh

Jum'at, 29 Januari 2021 - 10:29 WIB
loading...
Samudera Atlantik Melebar, Jarak Benua Amerika, Eropa, dan Afrika Semakin Menjauh
Foto: dok/Universitas Southampton
A A A
LONDON - Beberapa waktu lalu para ilmuwan melakukan penelitian dengan berlayar ke samudera Atlantik . Jauh di dasar laut samudera Atlantik, terjadi pergeseran lempengan yang membuat benua Amerika terdorong ke satu sisi dan Eropa serta Afrika terdorong ke sisi lainnya.

Sebuah studi baru menunjukkan bahwa jauh di bawah kerak bumi, di lapisan yang disebut mantel, bebatuan panas naik dan mendorong lempeng tektonik berbatu yang membentuk kerak bumi yang bertemu di bawah Atlantik. (Baca: Sabuk Hujan Tropis Berpotensi Berubah, Dampaknya Akan Mengerikan)

Sebelumnya, para ilmuwan mengira bahwa sebagian besar benua ditarik terpisah saat lempeng di bawah laut bergerak ke arah yang berlawanan dan menabrak lempeng lain karena gaya gravitasi. Namun studi baru menunjukkan bahwa itu bukanlah gambaran keseluruhan.

Samudera Atlantik Melebar, Jarak Benua Amerika, Eropa, dan Afrika Semakin Menjauh


Penelitian dimulai pada 2016, ketika sekelompok peneliti berlayar dengan kapal penelitian ke bagian terluas Samudra Atlantik antara Amerika Selatan dan Afrika. "Dengan kata lain, ke dunia antah berantah," kata penulis utama Matthew Agius, yang pada saat itu adalah peneliti pascadoktoral di Universitas Southampton di Inggris, tetapi sekarang di Universitas Tre Roma di Italia.

Agius mengatakan, tempat itu bukan rute yang sangat populer untuk perjalanan. Tapi hamparan samudera yang luas dan kosong ini terletak di atas tempat geologis yang sangat penting: punggungan Atlantik tengah, batas tektonik terbesar di planet ini yang membentang 16.093 kilometer dari Samudra Arktik hingga ke ujung selatan Afrika. (Baca juga: Mengapa Salju Berwarna Putih tapi Air Tampak Jernih?)

Ini adalah tempat di mana Lempeng Amerika Selatan dan Amerika Utara bergerak terpisah dari lempeng Eurasia dan Afrika, dengan kecepatan sekitar 1,6 inci (4 sentimeter) setahun, memanjang ke Samudra Atlantik.

Agius dan timnya menghabiskan waktu lima minggu berlayar melintasi jarak sekitar 1.000 km - menjatuhkan seismometer (instrumen yang mendeteksi gelombang atau getaran seismik seperti yang berasal dari gempa bumi) ke dasar laut.

"Sampai sekarang, kami tidak pernah memiliki gambaran bagus tentang apa yang terjadi di bawah laut," kata Agius. Karena gelombang seismik berperilaku berbeda tergantung pada materi yang dilaluinya, para peneliti dapat menggunakan data tersebut untuk membuat gambar, memungkinkan mereka untuk mengintip ke berbagai lapisan bumi.

Pada tahun mendengarkan itu, seismometer menangkap getaran dari gempa bumi yang menyebar dari berbagai belahan dunia dan melalui mantel dalam Bumi dari lapisan batuan panas yang sebagian besar padat yang tebalnya sekitar 2.900 km. (Baca juga: Bayi Dinosaurus Ternyata Sudah 'Siap Berburu' Sejak Lahir)

Mereka menemukan bahwa di area dalam punggungan itu, zona transisi mantel - wilayah dengan kepadatan lebih tinggi yang berfungsi sebagai penjaga gerbang antara lapisan atas dan bawah mantel - lebih tipis dari rata-rata yang kemungkinan berarti lebih panas dari biasanya. Suhu yang lebih panas dari zona transisi kemungkinan memfasilitasi "upwelling" batuan panas dari mantel bawah Bumi ke mantel atasnya yang secara aktif mendorong lempeng-lempeng itu.

Para peneliti sebelumnya mengira bahwa lempeng-lempeng menyimpang satu sama lain karena "tarikan" di zona subduksi, tempat lempeng bertabrakan dan satu tenggelam di bawah yang lain. Jadi jika ada satu lempeng yang ditarik di satu sisi (dan menabrak lempeng lain di zona subduksi), dan lempeng lain ditarik ke sisi lain (lagi-lagi menabrak lempeng lain di zona subduksi), itu akan membuat tonjolan di tengah, di mana material panas dari bawah naik untuk mengisi celah yang dihasilkan. "Itu masih terjadi, tapi diperkirakan pegunungan itu akibat dari proses itu," katanya.

Samudera Atlantik Melebar, Jarak Benua Amerika, Eropa, dan Afrika Semakin Menjauh


Temuan ini menunjukkan bahwa ketika zona subduksi memisahkan lempeng, upwelling di bawah punggung bukit mungkin secara aktif membantu mendorongnya terpisah. Namun, tidak jelas apakah proses ini hanya terkait dengan punggungan Atlantik tengah atau jika semua punggungan di seluruh dunia mengalami hal yang sama, kata Agius. "Tarikannya masih ada, hanya kami ingin menentukan sekarang apakah semua punggung bukit mengalami dorongan juga," kata Agius. (Baca juga: Kabar Baik, Vaksin Moderna Dinilai Bisa Redam Varian Virus Corona)

Kendati penelitian ini baik, namun ada sejumlah kritik yang dilayangkan terhadap para ilmuwan itu. Seorang profesor di departemen Ilmu Bumi dan Lingkungan di Universitas Michigan, Jeroen Ritsema mengatakan, penemuan ini menambah sepotong teka-teki menuju pemahaman aliran di mantel bumi. Meskipun analisis mereka sangat baik, penelitian ini memiliki ruang lingkup terbatas.

Mereka hanya melihat sebagian kecil dari dasar laut Atlantik , jadi tidak jelas apakah temuan mereka akan benar di sepanjang punggungan Atlantik tengah atau bahkan di punggungan tengah samudra lainnya. "Sulit untuk menyimpulkan aliran batuan skala global di mantel bumi hanya dari satu sudut pandang. Ini seperti mengintip melalui lubang kunci dan mencoba mencari tahu furnitur apa yang ada di ruang tamu, dapur, dan kamar tidur di lantai atas," katanya kepada Live Science.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5231 seconds (0.1#10.140)