Zona Megathrust di Indonesia Berpotensi Picu Tsunami, Ini Titik-titiknya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Zona megathrust di Indonesia merupakan area seismik yang sangat aktif dan berpotensi menyebabkan gempa bumi besar. Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik utama yakni Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.
Artinya Indonesia salah satu lokasi dengan risiko gempa bumi dan tsunami yang tinggi. Zona megathrust ini adalah area di mana dua lempeng tektonik saling bertabrakan, dan salah satu lempeng (biasanya lempeng samudera) menyelam di bawah lempeng benua atau lempeng lainnya.
Penyelidik Bumi Ahli Madya Badan Geologi, Yudhicara menyatakan, jika zona megathrust adalah zona subduksi yang berada pada zona seismogenik yang memiliki lebar 50-150 Km.
Hal itu disampaikan Yudhicara saat menjadi narasumber dalam webinar bertajuk 'Waspada Gempa Megathrust' yang digelar Departemen Teknik Geofisika ITS bekerja sama dengan PVMBG, U-INSPIRE dan IAGI, Selasa (20/8/2024).
"Zona megathrust adalah zona subduksi yang berada pada zona seismogenik yang memiliki lebar 50-150 Km, yang dimulai kedalaman batas atas dari zona seismogenik yaitu sekitar 5-10 Km dan biasanya memiliki suhu sekitar 100-150 derajat celcius," ucap Yudhicara.
"Dan batas bawah pada kedalaman 25-55 Km di bawah permukaan dasar laut, biasanya memiliki suhu sekitar 350-450 derajat celceius atau dikontrol oleh baji serpentinisasi," tambahnya.
Yudhicara menyebut, beberapa studi menguhubungkan gempa besar sepanjang megathrust dengan kecepatan konvergem, umur lempeng, suplai sedimen, morfologi dasar laut dan pemekaran busur belakang.
"Variabel yang mempengaruhi stabil atau tidak stabil proses penunjaman lempeng antara lain efektifitas normal stress, suhu dari pemanasan gesekan, sifat material seperti komposisi batuan dan sedimen, permiabilitas dan kekasaran permukaan lempang yang menunjam," katanya.
Menurutnya, kompleksitas sifat geser megathrust lebih menonjol di kedalaman kurang dari 15 Km di bawah dasar laut.
"Rasio slip seismik dan aseismik tinggi, variasi adanya sedimen yang mengeras, cairan yang dikeluarkan, struktur batimetri yang kasar pada lempeng subduksi, struktur kompleks dari prisma akrese dan kerentanan terhadap laju regangan tinggi," jelasnya.
"Struktur batimetri, sedimen, tekanan air pori dan laju regangan semuanya berperan dalam perilaku seismik," lanjutnya.
Yudhicara mengatakan, gempa megathrust pernah terjadi beberapa kali di Indonesia. Sedikitnya, ada delapan daerah yang pernah merasakan gempa megathrust ini.
"Di antaranya Aceh 2024 dengan kedalaman 13,5. Kemudian di Nias dengan kedalaman 30,5 Km. Lalu Mentawai dengan kedalaman 20,1 Km. Ada Bengkulu dengan kedalaman 30,5 Km," imbuhnya.
"Kemudian ada Pangandaran dengan kedalaman 11,5 Km. Lalu Banyuwangi dengan kedalaman 11,5 Km. Kemudan ada Sumba dengan kedalaman 25 Km dan Biak dengan kedalaman 11,5 Km," tandasnya.
Artinya Indonesia salah satu lokasi dengan risiko gempa bumi dan tsunami yang tinggi. Zona megathrust ini adalah area di mana dua lempeng tektonik saling bertabrakan, dan salah satu lempeng (biasanya lempeng samudera) menyelam di bawah lempeng benua atau lempeng lainnya.
Penyelidik Bumi Ahli Madya Badan Geologi, Yudhicara menyatakan, jika zona megathrust adalah zona subduksi yang berada pada zona seismogenik yang memiliki lebar 50-150 Km.
Hal itu disampaikan Yudhicara saat menjadi narasumber dalam webinar bertajuk 'Waspada Gempa Megathrust' yang digelar Departemen Teknik Geofisika ITS bekerja sama dengan PVMBG, U-INSPIRE dan IAGI, Selasa (20/8/2024).
"Zona megathrust adalah zona subduksi yang berada pada zona seismogenik yang memiliki lebar 50-150 Km, yang dimulai kedalaman batas atas dari zona seismogenik yaitu sekitar 5-10 Km dan biasanya memiliki suhu sekitar 100-150 derajat celcius," ucap Yudhicara.
"Dan batas bawah pada kedalaman 25-55 Km di bawah permukaan dasar laut, biasanya memiliki suhu sekitar 350-450 derajat celceius atau dikontrol oleh baji serpentinisasi," tambahnya.
Yudhicara menyebut, beberapa studi menguhubungkan gempa besar sepanjang megathrust dengan kecepatan konvergem, umur lempeng, suplai sedimen, morfologi dasar laut dan pemekaran busur belakang.
"Variabel yang mempengaruhi stabil atau tidak stabil proses penunjaman lempeng antara lain efektifitas normal stress, suhu dari pemanasan gesekan, sifat material seperti komposisi batuan dan sedimen, permiabilitas dan kekasaran permukaan lempang yang menunjam," katanya.
Menurutnya, kompleksitas sifat geser megathrust lebih menonjol di kedalaman kurang dari 15 Km di bawah dasar laut.
"Rasio slip seismik dan aseismik tinggi, variasi adanya sedimen yang mengeras, cairan yang dikeluarkan, struktur batimetri yang kasar pada lempeng subduksi, struktur kompleks dari prisma akrese dan kerentanan terhadap laju regangan tinggi," jelasnya.
"Struktur batimetri, sedimen, tekanan air pori dan laju regangan semuanya berperan dalam perilaku seismik," lanjutnya.
Yudhicara mengatakan, gempa megathrust pernah terjadi beberapa kali di Indonesia. Sedikitnya, ada delapan daerah yang pernah merasakan gempa megathrust ini.
"Di antaranya Aceh 2024 dengan kedalaman 13,5. Kemudian di Nias dengan kedalaman 30,5 Km. Lalu Mentawai dengan kedalaman 20,1 Km. Ada Bengkulu dengan kedalaman 30,5 Km," imbuhnya.
"Kemudian ada Pangandaran dengan kedalaman 11,5 Km. Lalu Banyuwangi dengan kedalaman 11,5 Km. Kemudan ada Sumba dengan kedalaman 25 Km dan Biak dengan kedalaman 11,5 Km," tandasnya.
(wbs)