Arkeolog Temukan Lukisan Kuno yang Membuktikan Keberadaan Ular Bertanduk
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sebuah lukisan dari batu bergambar makhluk misterius berusia sekira 200 tahun ditemukan Afrika Selatan. Hasil karya seni tersebut menggambarkan seekor ular bertanduk yang kini sudah punah bernama dicynodont.
Popular Mechanics melansir, Rabu (25/9/2024) temuan tadi memerlihatkan gabungan seni dengan temuan fosil dan legenda lama dari orang San. Hal ini membuat para ilmuwan bersemangat untuk mengetahui apakah keberadaan ular bertanduk itu adalah kenyataan atau hanya legenda.
Ada sesuatu yang menarik bahkan menakutkan, tentang gambar ular bertanduk kuno yang berkeliaran di seluruh negeri. Berkat beberapa fosil dan legenda, pembicaraan tentang makhluk semacam itu bukanlah konsep baru. Tetapi penemuan baru-baru ini dari lukisan batu berusia 200 tahun yang ditemukan di Afrika Selatan membuat para ilmuwan berhipotesis makhluk kuno ini mungkin jauh lebih dari sekadar legenda.
Deskripsi ilmiah formal pertama dari ular bertanduk ini—diduga dari kelompok dicynodont—muncul pada 1845. Mengingat banyaknya fosil dicynodont yang ditemukan di Karoo Basin di Afrika Selatan, beberapa pihak berasumsi apakah ular bertanduk yang dianggap mitos ini berakar pada kenyataan.
Penemuan seni cadas yang berasal dari antara 1821 dan 1835 menambah kredibilitas legenda tersebut, karena lukisan tersebut lebih tua dari referensi formal pertama untuk dicynodont. Temuan itu bisa memberikan petunjuk lebih lanjut tentang seberapa terjalinnya ular bertanduk ini dengan budaya San asli Afrika Selatan.
Dalam studi yang diterbitkan di jurnal PLOS ONE, Julien Benoit dari University of the Witwatersrand mengonfirmasi seni cadas dari awal 1800-an menggambarkan seekor binatang bertaring, dan bahwa itu berada di samping fosil tetrapoda di sekitarnya. "Secara keseluruhan, ini menunjukkan kasus paleontologi pribumi," ujar Benoit.
Namun, dibutuhkan lebih dari sekadar lukisan berusia 200 tahun untuk mencocokkan sedikit fosil yang tidak diketahui dengan makhluk yang sudah lama punah saat ini. "Bukti etnografi, arkeologi, dan paleontologi konsisten dengan hipotesis bahwa panel Ular Bertanduk dapat saja menggambarkan dicynodont," tulis Benoit dalam studinya.
Dia menambahkan bahwa orientasi ke bawah dari taring, yang tidak cocok dengan hewan Afrika mana pun banyaknya fosil di daerah tersebut, dan kepercayaan yang dipegang oleh San tentang keberadaan hewan besar yang sudah lama punah ini semakin mendukung teori tersebut. "Tentu saja, pada titik ini bersifat spekulatif," kata Benoit.
IFL Science sempat mengulas hewan bertaring pada panel Ular Bertanduk kemungkinan dilukis sebagai hewan hujan, yang berarti kemungkinan terlibat dalam upacara meminta hujan. Upacara-upacara ini sering kali membangkitkan hewan punah yang diketahui untuk membantu orang-orang mendorong para dewa untuk mengirimkan hujan.
San diketahui memiliki referensi hewan milik 'dunia roh' mereka, tetapi Benoit mengatakan hewan-hewan ini umumnya terinspirasi oleh kenyataan—meskipun punah. Ditambah dengan minat San terhadap fosil, Benoit meyakini penemuan fosil dapat membuat San menciptakan kembali ular bertanduk, menggunakan legenda yang sudah lama dipegang di mana nenek moyang mereka menggambarkan makhluk tersebut sebagai brute raksasa yang hebat, melebihi gajah atau kuda nil dalam ukuran.
Ada banyak lompatan dari legenda ke dasar ilmiah yang mungkin terlalu besar untuk ular bertanduk yang terkenal untuk dibuat. Tetapi setelah studi lebih lanjut, lukisan berusia 200 tahun itu dapat memutar kisah yang berbeda.
Popular Mechanics melansir, Rabu (25/9/2024) temuan tadi memerlihatkan gabungan seni dengan temuan fosil dan legenda lama dari orang San. Hal ini membuat para ilmuwan bersemangat untuk mengetahui apakah keberadaan ular bertanduk itu adalah kenyataan atau hanya legenda.
Ada sesuatu yang menarik bahkan menakutkan, tentang gambar ular bertanduk kuno yang berkeliaran di seluruh negeri. Berkat beberapa fosil dan legenda, pembicaraan tentang makhluk semacam itu bukanlah konsep baru. Tetapi penemuan baru-baru ini dari lukisan batu berusia 200 tahun yang ditemukan di Afrika Selatan membuat para ilmuwan berhipotesis makhluk kuno ini mungkin jauh lebih dari sekadar legenda.
Deskripsi ilmiah formal pertama dari ular bertanduk ini—diduga dari kelompok dicynodont—muncul pada 1845. Mengingat banyaknya fosil dicynodont yang ditemukan di Karoo Basin di Afrika Selatan, beberapa pihak berasumsi apakah ular bertanduk yang dianggap mitos ini berakar pada kenyataan.
Penemuan seni cadas yang berasal dari antara 1821 dan 1835 menambah kredibilitas legenda tersebut, karena lukisan tersebut lebih tua dari referensi formal pertama untuk dicynodont. Temuan itu bisa memberikan petunjuk lebih lanjut tentang seberapa terjalinnya ular bertanduk ini dengan budaya San asli Afrika Selatan.
Dalam studi yang diterbitkan di jurnal PLOS ONE, Julien Benoit dari University of the Witwatersrand mengonfirmasi seni cadas dari awal 1800-an menggambarkan seekor binatang bertaring, dan bahwa itu berada di samping fosil tetrapoda di sekitarnya. "Secara keseluruhan, ini menunjukkan kasus paleontologi pribumi," ujar Benoit.
Namun, dibutuhkan lebih dari sekadar lukisan berusia 200 tahun untuk mencocokkan sedikit fosil yang tidak diketahui dengan makhluk yang sudah lama punah saat ini. "Bukti etnografi, arkeologi, dan paleontologi konsisten dengan hipotesis bahwa panel Ular Bertanduk dapat saja menggambarkan dicynodont," tulis Benoit dalam studinya.
Dia menambahkan bahwa orientasi ke bawah dari taring, yang tidak cocok dengan hewan Afrika mana pun banyaknya fosil di daerah tersebut, dan kepercayaan yang dipegang oleh San tentang keberadaan hewan besar yang sudah lama punah ini semakin mendukung teori tersebut. "Tentu saja, pada titik ini bersifat spekulatif," kata Benoit.
IFL Science sempat mengulas hewan bertaring pada panel Ular Bertanduk kemungkinan dilukis sebagai hewan hujan, yang berarti kemungkinan terlibat dalam upacara meminta hujan. Upacara-upacara ini sering kali membangkitkan hewan punah yang diketahui untuk membantu orang-orang mendorong para dewa untuk mengirimkan hujan.
San diketahui memiliki referensi hewan milik 'dunia roh' mereka, tetapi Benoit mengatakan hewan-hewan ini umumnya terinspirasi oleh kenyataan—meskipun punah. Ditambah dengan minat San terhadap fosil, Benoit meyakini penemuan fosil dapat membuat San menciptakan kembali ular bertanduk, menggunakan legenda yang sudah lama dipegang di mana nenek moyang mereka menggambarkan makhluk tersebut sebagai brute raksasa yang hebat, melebihi gajah atau kuda nil dalam ukuran.
Ada banyak lompatan dari legenda ke dasar ilmiah yang mungkin terlalu besar untuk ular bertanduk yang terkenal untuk dibuat. Tetapi setelah studi lebih lanjut, lukisan berusia 200 tahun itu dapat memutar kisah yang berbeda.
(msf)