Antibiomania, Efek Samping Langka Antibiotik yang Bikin Berhalusinasi Dapat Bisikan Gaib
loading...
A
A
A
ANTIBIOMANIA, efek samping yang jarang terjadi setelah mengonsumsi antibiotik , ditandai dengan perubahan suasana hati, menjadi mudah tersinggung, dan mulai berbicara tidak jelas (meracau). Perilaku seperti itu disebut dengan gejala mania, suatu kondisi dengan tingkat energi tinggi yang tidak normal serta pikiran dan perilaku yang tidak menentu.
Istilah Antibiomania diciptakan dalam ulasan tahun 2002 yang diterbitkan dalam Journal of Clinical Psychopharmacology, yang meneliti studi kasus yang melibatkan mania terkait penggunaan antibiotik. Belum diketahui detail mekanisme interaksi antara antibiotik dan sistem saraf pusat (termasuk otak) sehingga menimbulkan gejala Antibiomania.
Dalam tinjauan studi kasus antibiomania yang diterbitkan pada tahun 2017 di Journal of Affective Disorders, Pascal Sienaert, seorang psikolog dan psikiater di Catholic University of Leuven (KU Leuven) di Belgia, menemukan sejumlah kasus menarik. Ini bagian dari program pemantauan reaksi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS (FDA).
Sienaert dan rekan meliput 37 laporan kasus, secara kolektif menggambarkan 47 kasus antibiomania pada pasien berusia 3 tahun. Sedangkan 143 kasus lain yang tidak dipublikasikan didokumentasikan akibat penggunaan obat yang merugikan.
Salah satu kasus Antibiomania terbaru ditemukan pada pria berusia 50 tahun yang mengalami persepsi seolah dunia terbalik setelah menggunakan antibiotik untuk mengobati pneumonia bakteri. Selama dua hari, pria itu mengalami perubahan suasana hati, menjadi mudah tersinggung, dan mulai berbicara dengan tidak jelas.
Setelah diperiksa ke unit psikiatri darurat di Jenewa, pria itu mengatakan kepada psikiater bahwa pada malam setelah mengonsumsi dosis antibiotik pertamanya, dia merasa seperti sedang sekarat. Dia mulai mengalami halusinasi pendengaran bahwa Tuhan sedang berbicara kepadanya dan mengatakan dia telah dipilih untuk misi khusus.
Gejala-gejala ini bisa menjadi indikasi psikosis dan dokter mendiagnosis pria itu dengan antibiomania. "Saya telah melihat, dalam pengalaman saya sendiri, setidaknya tiga kasus, satu dengan episode berulang," kata Sienaert kepada Live Science, Sabtu (5/2/2022).
Sementara pria di Jenewa itu akhirnya tidak membutuhkan antipsikotik, dokter meresepkannya lorazepam, obat yang digunakan untuk mengobati kecemasan dan kejang. Kasus pria tersebut menggambarkan bahwa berbagai jenis antibiotik dapat memicu antibiomania.
Awalnya, gejala mania pria itu muncul setelah mengonsumsi antibiotik asam amoksisilin-klavulanat. Begitu dia berhenti pengobatan, gejala mania berhenti. Namun, ketika dia mulai menggunakan antibiotik lain, yang disebut klaritromisin, untuk mengobati pneumonia, gejala manianya kembali, mendorongnya untuk menghentikan pengobatan antibiotik.
Seminggu setelah menghentikan antibiotik, pria itu tidak lagi memiliki gejala mania. Sienaert mengatakan belum diketahu secara detail bagaimana mekanisme pasti interaksi antara antibiotik dan sistem saraf pusat (termasuk otak). Hanya ditemukan, beberapa kelas antibiotik - termasuk makrolida, seperti klaritromisin, dan beta-laktam, seperti amoksisilin - telah mempengaruhi sistem GABAergik otak.
Antibiotik bertindak sebagai penghambat asam gamma-aminobutirat (GABA), neurotransmitter yang bertanggung jawab untuk meredam neuron yang tereksitasi. "Itu mungkin menjelaskan mengapa, dalam keadaan seperti ini, mania muncul. Dengan menghambat neurotransmitter, menghasilkan fungsi rangsang," kata Sienaert.
Sienaert menambahkan kemampuan antibiotik untuk mengganggu mikrobioma usus pasien dan menyebabkan disfungsi mitokondria, yang menggerakkan sel. Dia juga berhipotesis bahwa interaksi obat-obat antara klaritromisin dan asam amoksisilin-klavulanat mungkin terjadi karena aktivitas bersama mereka pada reseptor GABA.
Istilah Antibiomania diciptakan dalam ulasan tahun 2002 yang diterbitkan dalam Journal of Clinical Psychopharmacology, yang meneliti studi kasus yang melibatkan mania terkait penggunaan antibiotik. Belum diketahui detail mekanisme interaksi antara antibiotik dan sistem saraf pusat (termasuk otak) sehingga menimbulkan gejala Antibiomania.
Dalam tinjauan studi kasus antibiomania yang diterbitkan pada tahun 2017 di Journal of Affective Disorders, Pascal Sienaert, seorang psikolog dan psikiater di Catholic University of Leuven (KU Leuven) di Belgia, menemukan sejumlah kasus menarik. Ini bagian dari program pemantauan reaksi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS (FDA).
Sienaert dan rekan meliput 37 laporan kasus, secara kolektif menggambarkan 47 kasus antibiomania pada pasien berusia 3 tahun. Sedangkan 143 kasus lain yang tidak dipublikasikan didokumentasikan akibat penggunaan obat yang merugikan.
Salah satu kasus Antibiomania terbaru ditemukan pada pria berusia 50 tahun yang mengalami persepsi seolah dunia terbalik setelah menggunakan antibiotik untuk mengobati pneumonia bakteri. Selama dua hari, pria itu mengalami perubahan suasana hati, menjadi mudah tersinggung, dan mulai berbicara dengan tidak jelas.
Setelah diperiksa ke unit psikiatri darurat di Jenewa, pria itu mengatakan kepada psikiater bahwa pada malam setelah mengonsumsi dosis antibiotik pertamanya, dia merasa seperti sedang sekarat. Dia mulai mengalami halusinasi pendengaran bahwa Tuhan sedang berbicara kepadanya dan mengatakan dia telah dipilih untuk misi khusus.
Gejala-gejala ini bisa menjadi indikasi psikosis dan dokter mendiagnosis pria itu dengan antibiomania. "Saya telah melihat, dalam pengalaman saya sendiri, setidaknya tiga kasus, satu dengan episode berulang," kata Sienaert kepada Live Science, Sabtu (5/2/2022).
Sementara pria di Jenewa itu akhirnya tidak membutuhkan antipsikotik, dokter meresepkannya lorazepam, obat yang digunakan untuk mengobati kecemasan dan kejang. Kasus pria tersebut menggambarkan bahwa berbagai jenis antibiotik dapat memicu antibiomania.
Awalnya, gejala mania pria itu muncul setelah mengonsumsi antibiotik asam amoksisilin-klavulanat. Begitu dia berhenti pengobatan, gejala mania berhenti. Namun, ketika dia mulai menggunakan antibiotik lain, yang disebut klaritromisin, untuk mengobati pneumonia, gejala manianya kembali, mendorongnya untuk menghentikan pengobatan antibiotik.
Seminggu setelah menghentikan antibiotik, pria itu tidak lagi memiliki gejala mania. Sienaert mengatakan belum diketahu secara detail bagaimana mekanisme pasti interaksi antara antibiotik dan sistem saraf pusat (termasuk otak). Hanya ditemukan, beberapa kelas antibiotik - termasuk makrolida, seperti klaritromisin, dan beta-laktam, seperti amoksisilin - telah mempengaruhi sistem GABAergik otak.
Antibiotik bertindak sebagai penghambat asam gamma-aminobutirat (GABA), neurotransmitter yang bertanggung jawab untuk meredam neuron yang tereksitasi. "Itu mungkin menjelaskan mengapa, dalam keadaan seperti ini, mania muncul. Dengan menghambat neurotransmitter, menghasilkan fungsi rangsang," kata Sienaert.
Sienaert menambahkan kemampuan antibiotik untuk mengganggu mikrobioma usus pasien dan menyebabkan disfungsi mitokondria, yang menggerakkan sel. Dia juga berhipotesis bahwa interaksi obat-obat antara klaritromisin dan asam amoksisilin-klavulanat mungkin terjadi karena aktivitas bersama mereka pada reseptor GABA.
(wib)